Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Najelaa Shihab
Inisiator Jaringan Semua Murid Semua Guru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pendidikan sering kali dipersalahkan atas banyak fenomena. Minimnya pemahaman dan produktivitas yang rendah merupakan bagian dari "hasil pendidikan" kita dalam berbagai usia. Di antara murid kelas II sekolah dasar, ada 20,7 persen yang lancar membaca tapi tidak memahami bacaan dan 5,8 persen tidak bisa membaca sama sekali (EGRA, 2014). Di antara populasi warga Jakarta usia 16-65 tahun, ada 70 persen yang hanya mampu membaca kalimat dengan topik yang familier tanpa memahami struktur kalimat atau paragraf (OECD, 2016).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama puluhan tahun, sudah banyak program pendidikan yang kita jalankan. Peningkatan akses menjadi strategi utama yang dituju oleh semua pemangku kepentingan, dari pembangunan sekolah inpres pada 1973 hingga distribusi Kartu Indonesia Pintar beberapa tahun belakangan. Capaian partisipasi pendidikan usia 6-22 tahun naik 7 persen sejak 2006 dan kesenjangan gender berkurang signifikan (Bappenas, 2015). Tapi akses semata tidak cukup menjadi landasan pembangunan berkelanjutan. Banyak anak menempuh "jembatan kertas" yang rapuh-secara kasatmata telah "terdidik" tapi belum mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kenyataan ini mudah sekali berujung pada penyalahan murid dan guru di sekolah. Padahal, dalam banyak situasi, justru mereka sangat membutuhkan dukungan. Jumlah orang yang "berada di sekolah" rata-rata hanya 20 persen dari total penduduk suatu negara. Pembebanan tanggung jawab pendidikan secara berlebihan kepada mereka adalah salah kaprah dan melupakan 80 persen kekuatan kita.
Kita sering lupa bahwa pendidikan merupakan proses kompleks yang terjadi dalam ekosistem multisektor yang saling mempengaruhi. Pendidikan berkaitan dengan kesehatan, kemiskinan, lingkungan, dan ribuan aspek kemanusiaan lain yang menjadi tantangan sekaligus kesempatan. Anak tumbuh di lembaga formal atau nonformal, tapi juga terdidik lewat pola pengasuhan keluarga dan nilai budaya masyarakat. Anak belajar dari media yang dikonsumsinya dan semua orang dewasa di sekitarnya.
Dalam revolusi industri masa kini, ciri kolaborasi menjadi syarat terjadinya disrupsi. Dalam pendidikan, "tradisi" bekerja sendiri masih dominan. Di tingkat sekolah, hanya 36 persen orang tua yang merasa perlu hadir secara rutin di sekolah saat tidak ada masalah dan hanya 44 persen pemimpin lembaga yang melibatkan komite sekolah dalam pengambilan keputusan (RAND, 2012). Di tingkat negara, warga melepaskan tanggung jawabnya kepada pemerintah karena terlena lantaran 20 persen dari APBN telah dianggarkan untuk pendidikan, yang apabila ditotal sebetulnya hanya 3,3 persen dari produk domestik bruto kita (Kearney, 2014).
Salah satu perubahan esensial yang perlu terjadi dalam ekosistem pendidikan kita adalah kesadaran bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua. Semua murid semua guru. Demi akselerasi perbaikan, sikap saling menyalahkan perlu digantikan dengan kerja bareng dan pelibatan berkelanjutan antar-pemangku kepentingan. Tanpa publik yang peduli, banyak inovasi yang gagal sebelum dimulai karena direspons dengan acuh tak acuh. Tanpa publik yang melakukan aksi, pendidikan akan selalu terjebak dalam tujuan-tujuan jangka pendek dengan agenda perubahan yang dipaksakan.
Pengalaman beberapa negara, dari Finlandia dan Singapura hingga Tunisia, menunjukkan bahwa reformasi pen didikan membutuhkan pelibatan publik secara berkelanjutan. Pelajaran utama yang dapat dipetik dari mereka adalah ihwal bagaimana menghargai keberagaman dan memberdayakan pelaku serta peran pendidikan. Penekanan yang berlebihan pada struktur formal dan standardisasi yang berdasar administrasi sudah terbukti merugikan konteks yang punya keunikan tersendiri. Penyeragaman akan terus menumbuhkan perasaan "dikorbankan" pada sebagian teman yang terpinggirkan.
Tanggung jawab utama kita adalah kepentingan anak dan kesadaran bahwa pemenuhan hak serta kebutuhannya berdampak puluhan tahun ke depan. Indonesia pada 2045 sudah hadir hari ini melalui apa yang terjadi pada anak-anak kita di ruang kelas, ruang keluarga, dan ruang publik setiap hari.