Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Operasi tangkap tangan kasus suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) membuktikan tindakan tersebut bukan strategi kampungan seperti yang disampaikan Luhut.
Operasi tangkap tangan ini menjadi awal untuk menyeret orang-orang yang terlibat hingga mereka mendapatkan hukuman yang sepadan.
Agar kasusnya tak berujung seperti perkara korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland - 101 di TNI Angkatan Udara dihentikan Puspom TNI, perlu dibentuk tim koneksitas.
Operasi tangkap tangan kasus suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) membuktikan tindakan tersebut bukan strategi kampungan seperti yang disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dengan penangkapan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar banyaknya persekongkolan dan besarnya duit yang diselewengkan di Basarnas hingga keterlibatan orang nomor satu di lembaga yang menangani urusan kemanusiaan berupa penanggulangan keadaan bahaya tersebut.
Komisi antikorupsi menggelar operasi tangkap tangan itu di Jalan Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, dan di sebuah warung di kawasan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa lalu. Di dua lokasi itu, tim KPK menangkap 11 orang dari pihak swasta dan Basarnas, termasuk seorang perwira menengah TNI. Dalam operasi tersebut, KPK menyita juga uang sebesar Rp 5,099 miliar, yang terdiri atas uang tunai Rp 999,7 juta dan uang di dalam rekening senilai Rp 4,1 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari keterangan mereka, KPK mengantongi informasi keterlibatan Kepala Basarnas periode 2021-2023, Marsekal Madya (Purnawirawan) Henri Alfiandi. Henri sudah tidak menduduki posisi tersebut sejak 17 Juli lalu karena dimutasi ke Markas Besar TNI Angkatan Udara menjelang pensiun pada 24 Juli lalu. KPK menetapkan Henri dan empat orang lainnya sebagai tersangka. Henri dan anak buahnya, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto, menjadi tersangka karena diduga menerima suap. Henri diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar dari tiga pemenang proyek pengadaan di Basarnas. Uang suap tersebut memakai kode "dana komando". Tiga tersangka lainnya adalah pemberi suap dari swasta. Ada indikasi proyek yang dimainkan lebih dari tiga pengadaan.
Dalam kasus Basarnas, para tersangka bersekongkol mengakali sistem pengadaan elektronik. Henri mendesain perusahaan tertentu untuk dijadikan pemenang lelang. Cara mendesain pemenang lelang itu tergambar dari pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan, public safety diving equipment, dan remotely operated vehicle pada tahun anggaran 2023. Secanggih apa pun sistem tendernya, jika dari awal sudah terjadi persekongkolan, pengadaan-pengadaan berbasis elektronik pun akan mudah diakali.
Karena itu, anggapan Luhut bahwa operasi tangkap tangan merupakan strategi kampungan karena korupsi bisa dikurangi dengan penerapan sistem digitalisasi pengadaan barang dan jasa tak terbukti manjur dalam kasus Basarnas. Pengadaan yang berbasis digital di lembaga itu diakali dengan persekongkolan jahat. Jadi, sistem apa pun yang dibangun, ketika sudah ada niat jahat untuk menggangsir uang negara, proyek-proyek pengadaan ujungnya hanya jadi bancakan pejabat dan pemenang lelang yang sudah diatur sejak awal.
Bukan kali ini saja Luhut mengecam tindakan operasi tangkap tangan, khususnya oleh KPK. Dalam tiga tahun belakangan, bekas Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini mengkritik bahwa operasi tangkap tangan tak menimbulkan efek jera, tak perlu dilakukan, dan memberikan kesan buruk. Bahkan Luhut pernah mengajak kepala daerah melawan praktik tangkap tangan ini dengan mengutamakan pencegahan melalui sistem pelayanan dan pengadaan elektronik. Apa pun motifnya, pernyataan Luhut itu tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Sebab, faktanya, kasus-kasus kakap di KPK yang menyeret menteri, pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan ketua partai politik berawal dari operasi tangkap tangan. Salah satu contohnya adalah kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek pada 2020 yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara. Selain efektif dan efisien dalam penanganan perkara, operasi tangkap tangan memberikan efek jeri kepada mereka yang berniat korupsi.
Dalam kasus Basarnas, operasi tangkap tangan ini menjadi awal untuk menyeret orang-orang yang terlibat hingga mereka mendapat hukuman sepadan. Termasuk kepada para tersangka, seperti Henri Alfiandi, yang penanganan perkaranya diserahkan ke Pusat Polisi Militer TNI. Agar kasusnya tak berujung seperti perkara korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland - 101 di TNI Angkatan Udara yang dihentikan Puspom TNI, perlu dibentuk tim koneksitas berisi penyidik KPK dan penyidik militer. Kasus korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland dibongkar KPK pada 2017. Ketika itu, pengusutan yang melibatkan pensiunan jenderal bintang empat tentara tersebut diserahkan ke Puspom TNI.
Kasus Basarnas perlu mendapat perhatian serius dan pelakunya mesti dihukum berat karena menilap dana dari proyek untuk kepentingan kemanusiaan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah jelas mengatur korupsi yang masuk kategori seperti ini diganjar hukuman maksimal pidana seumur hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo