Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pengharaman Buku

Malaysia masih memiliki aturan untuk mengharamkan buku tertentu. Mereka yang mencetak, mengimpor, menerbitkan, menjual, mengedarkan, hingga memiliki buku terlarang akan dipenjara hingga 3 tahun atau didenda hingga RM 20 ribu atau sekitar Rp 73 juta.

9 Februari 2018 | 06.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malaysia masih memiliki aturan untuk mengharamkan buku tertentu. Mereka yang mencetak, mengimpor, menerbitkan, menjual, mengedarkan, hingga memiliki buku terlarang akan dipenjara hingga 3 tahun atau didenda hingga RM 20 ribu atau sekitar Rp 73 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Kementerian Dalam Negeri Malaysia belum lama ini mengumumkan daftar 21 buku terlarang. Karya-karya tersebut dianggap bisa membahayakan keselamatan, ketenteraman moral dan kepentingan umum, serta bisa mengganggu pikiran khalayak. Sebenarnya ini bukan hal baru karena institusi tersebut sering mengumumkan buku-buku yang layak dihentikan, se-perti buku The History of God karya Karen Amstrong pada 2006.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Tapi tidaklah mudah untuk menegakkan peraturan. Meskipun The History of God, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sejarah Tuhan oleh Mizan, secara resmi dilarang, karya tersebut masih bisa ditemukan di toko buku. Saya bahkan pernah diundang oleh Kementerian Luar Negeri untuk menghadiri konferensi mengenai buku tersebut di Kuala Lumpur.
Buku Zaid Ibrahim, Assalamu’alaikum: Observations on the Islamisation of Malaysia, resmi dilarang Kementerian pada pertengahan Desember 2017. Buku karya mantan menteri di jabatan Perdana Menteri Urusan Hukum itu dinilai "mungkin me-mudaratkan ketenteraman awam, menggemparkan pikiran orang ramai, dan memudaratkan kepentingan awam". Tapi saya masih melihat buku itu di rak toko buku.


Pelarangan buku-buku itu kontroversial. Sebagian pihak mendukung ikhtiar mulia pemerintah ini agar ide-ide liberal tidak meracuni generasi muda, sebagaimana kekhawatiran pemerintah Yunani kuno terhadap gagasan-gagasan filsuf Socrates. Namun Tony Pua-anggota parlemen dari kelompok oposisi-melihatnya sebagai praktik totalitarian yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan rakyat. Menurut dia, pemerintah telah mematikan demokrasi, alih-alih menyuburkan perbincangan ide-ide di tengah masyarakat. Dia menilai rezim ini tidak ubahnya seperti Uni Soviet di bawah Joseph Stalin dan Cina di bawah Mao Tse Tung.


Saya memiliki Antithe-sis, buku berisi catatan harian karya Benz Ali, seorang aktivis sosial. Buku itu juga masuk daftar buku terlarang tersebut. Buku itu berisi kritik tajam yang ditujukan ke segala arah, dari pemerintah, ulama, hingga oposisi. Ia juga berisi kegelisahan anak muda yang melihat kehidupan sehari-hari telah dikangkangi oleh kapitalisme. Buku ini saya dapat dalam pameran buku yang digelar di sebuah kampus bersama terbitan indie lain yang tak mungkin dibicarakan secara terbuka di acara bedah buku.


Sejauh ini, hanya Benz Ali yang menulis keheranannya terhadap pelarangan buah penanya. Padahal karya-karya pegiat sosial Hishamuddin Rais, yang kritiknya jauh lebih keras dan vulgar, malah dibiarkan, misalnya Tipu Pilihanraya. Pemerintah membiarkan buku-buku aktor Fattah Amin, yang isinya dianggap tidak berguna, tapi memberangus Antithesis. Padahal dua buku tersebut sama-sama petikan dari tulisan mereka di media sosial. Malah, karya yang jauh lebih radikal, seperti Molotov Koktel oleh aktivis mahasiswa Adam Adli, lolos dari pelarangan.


Saya melihat Bagian Pengawas Penerbitan dan Teks Al-Quran Kementerian Dalam Negeri, pengawas seluruh penerbitan di Negeri Jiran, hendak menjalankan tugasnya sebagai badan yang ingin memastikan bahwa orang ramai tidak terpapar bacaan yang dianggap bisa merusak. Tentu, batas-batas yang ditetapkannya didasarkan pada mazhab resmi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Namun, seperti kritik Tony Pua, jika pemerintah membebaskan penyedia Internet, seperti Digi, Maxis, dan Celcom, untuk beroperasi, yang memungkinkan informasi apa saja bebas diakses, tentu pelarangan itu ironis.


Pengharaman seperti ini tidaklah efektif karena penerbit-penerbit tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol pemerintah. Penerbit buku indie, seperti Dubook Press, Sorok Kitab, dan Tukul Press, bergerak lebih cekatan karena tidak bergantung pada toko-toko besar. Mereka berjualan melalui tular (viral) di media sosial. Kehadiran penerbit kontra, seperti Kopi Press, yang pandangannya sejalan de-ngan mazhab Kementerian, justru akan menyuburkan wacana. Kematangan tidak bisa dipaksakan melalui kekuasaan, melainkan dengan pergelaran pengetahuan.


Kementerian juga melarang enam novel Faisal Tehrani, yakni Sebongkah Batu di Kuala Berang, Karbala, Tiga Kali Seminggu, Ingin Jadi Nasrallah, Sinema Spiritual: Dramaturgi dan Kritikan, serta Perempuan Nan Bercinta. Buku-buku itu dinilai mengandung unsur penyebaran ajaran Syiah dan bertentangan dengan ahlussunnah wal jamaah, mazhab yang dianut pemerintah. Faisal kemudian menggugat pelarangan atas empat buku yang pertama itu ke pengadilan.


Januari lalu, pengadilan membatalkan pelarangan atas empat buku tersebut. Hakim menyatakan tidak melihat isi dari novel itu mengganggu ketenteraman khalayak luas. Pengadilan juga menegaskan bahwa keputusan Kementerian telah melanggar kebebasan bersuara Faisal dan bertentangan dengan Akta Mesin Cetak dan Penerbitan 1984.
Ini tentu merupakan angin segar. Apakah era baru kebebasan berkarya tengah bersemi?

Ahmad Sahidah
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

Ahmad Sahidah

Ahmad Sahidah

Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Probolinggo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus