Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Penistaan

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Api. Minyak. Jerami. Tiga barang murah itu diinginkan 'Ayn al-Qudat sebagai bagian pelaksanaan hukuman matinya, - mungkin semacam pengantar sederhana ke dunia para syuhada. Tampaknya ia tak ingin meninggalkan dunia dengan tanda-tanda keagungan. Kematian seorang sufi, juga ketika ia dibunuh, adalah prosedur ringan ke haribaan Tuhan.

Tapi para algojo Sultan Mahmud bin Muhammad Tapar dan wazirnya, al-Dargazini, tak ingin memperlihatkan jalan ringan apapun di depan khalayak.

Hari itu, 23 Mei 1131, setelah orang ramai berkumpul di lapangan kota Hamadhan, tempat kelahirannya, 'Ayn al-Qudat dikuliti hidup-hidup. Kemudian, menurut seorang sejarawan, ia disalibkan di tembok sekolah tempat ia dulu mengajar. Setelah itu tubuh sang sufi digeletakkan di tanah, dibungkus tikar jerami, disiram minyak, dan dibakar. Umurnya baru 33 tahun.

Api, minyak, jerami - akhirnya itu semua instrumen kekejaman. Atau kebencian. Atau peralatan kekuasaan yang merasa diri mutlak dalam memutuskan dosa dan ajal seseorang.

Sampai hari ini, tak jelas apa dosa 'Ayn al-Qudat. Dalam Beyond Death: The Mystical Teachings of 'Ayn Al-Qud?t Al-Hamadhani, Firoozeh Papan-Matin mengutip seorang sejarawan dari masa itu yang mengaitkan hukuman mati itu dengan kejatuhan posisi politik orang-orang yang mendukung sang sufi. Tapi 'Ayn al-Qud?t sendiri, dalam pembelaan yang disusunnya selama dalam penjara di Baghdad, mengacu ke karya-karya yang ditulisnya, bukan hubungan-hubungan politiknya. Di sana ia tunjukkan kedekatannya dengan pemikiran al-Ghazali, ulama yang sangat dihormati itu.

Bagi Ayn al-Qudat, para penuduhnya, yang mengutip kata-katanya sebagai bukti bahwa ia telah murtad, adalah orang-orang yang "lemah pikiran". Mereka mendakwanya mengikuti ajaran kaum Ismailiah yang dimusuhi para ulama. Dikatakan pula ia membawakan pandangan sesat, ajaran "kafir", yang dikemukakan para filosof semacam Ibnu Sinna - pelanggaran yang pantas dihukum mati. Padahal, kata sang sufi yang menulis Tamhidat itu, yang ia lakukan adalah mengemukakan hal-hal yang juga ada dalam karya-karya al-Ghazali. Karena semua dipaparkan dengan bahasa filsafat, kata 'Ayn al-Qud?t, kaum "lemah pikiran" menyimpulkan bahwa ia penganut ajaran yang dikutuk.

Dengan kata lain, tafsir itu salah, dan tak hanya itu: sewenang-wenang dan mematikan.

Tapi benarkah tafsir salah yang membuatnya dihukum mati? Atau keterlibatannya dalam pergulatan politik? Mungkin sekali kedua-duanya. Tafsir dan politik, terutama dalam kehidupan agama-agama, memang saling bertaut.

Kekuasaan butuh teks untuk menghalalkan dan mempertahankan dirinya. 1700 tahun Sebelum Masehi Raja Hammurabi memahatkan hukum-hukumnya: ia membuat teks. Sejak masa itu apa yang disebut "keadilan" dan "kebenaran" direkam dan rumusannya didistribusikan. Juga ketika agama-agama berkembang jadi lembaga, ketika pengalaman religius dijadikan pedoman untuk orang ramai, teks ("Kitab Suci") pegang peran utama. Bahkan berangsur-angsur agama identik dengan teks.

Tapi teks tak pernah berdiri sendiri. Bersamanya, melekat tafsir. Nasir Hamid Abu Zayd, sarjana Muslim Mesir yang terkenal sebagai pambahas Qur'an, mencatat hal itu terutama dalam peradaban Arab, yang disebutnya sebagai hadarat al-nass (peradaban teks) dan sekaligus hadarat al-ta'wil (peradaban tafsir). Ayat-ayat Qur'an yang diterima Muhammad s.a.w. dan diutarakan kepada umatnya adalah pesan Tuhan dan sekaligus tafsir Nabi atas pesan itu. Tafsir, dalam kata-kata Abu Zayd, adalah sisi lain dari teks.

Kita tahu teks-dan-tafsir dikemukakan dalam bahasa, dan bahasa niscaya terbentuk dalam sejarah. Qur'an mengekspresikannya dalam bahasa Arab di zaman itu, ketika "Iqra'" - kata pertama - disampaikan. Bagaimana mungkin melepaskan teks dari ruang dan waktu? Tafsir yang menyertainya makin menegaskan kesejarahan itu.

Beberapa abad setelah 'Ayn al-Qud?t dibakar, para pemikir akhirnya menerima bahwa teks-dan-tafsir selalu terbuka - sebuah opera aperta, kata Umberto Eco. Sebuah teks, sebuah tafsir, adalah samudra makna, bukan bendungan makna. Makna bergerak, nyaris tak bertepi. Kebenarannya tak ditentukan batasnya oleh sang penggubah. Apalagi sang penggubah (juga dengan "P") tak bisa ditanya lagi.

Tapi juga bukan sang pembaca yang menentukan. Tiap kali, ia sebenarnya menghadapi berlapis-lapis makna. Maka pergulatan tentang tafsir tak pernah selesai, apalagi tentang sabda yang maha gaib. Akhirnya, secara terbuka atau pura-pura, pergulatan itu diselesaikan dengan kekuasaan - lewat benturan politik. Sabda, tafsir, dan politik: ketiganya berkelindan.

Tapi tak berarti kebenaran bisa diberdirikan dengan tegak. Ia guyah. Menunjukkan hal ini bukan sebuah penistaan. Seperti yang terjadi di Hamadhan hampir sembilan abad yang lalu,yang tegak membekas hanya kekejaman yang membisukan. Yang ada hanya kekalahan dan kemenangan sementara - sama fananya dengan api, minyak, jerami.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus