Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Penyelundupan: Harus Diapakan?

Penyelesaian masalah penyelundupan dalam jangka panjang tidak lain adalah menghilangkan keterbelakangan ekonomi, memperbaiki efisiensi produksi dalam negeri dan meningkatkan produktivitas.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBITJARA tentang penjelundupan sama seperti membitjarakan korupsi. Semua orang setudju bahwa ia harus diberantas, tapi mengapa harus diberantas dan bagaimana tjaranja, masing-masing mempunjai pendapat sendiri-sendiri . Apabila kita tanjakan pada ibu-ibu rumah tangga dan para konsumen pada umumnja, mereka akan berpendapat bahwa harga tekstil dan barang kebutuhan sehari-hari jang murah adalah menguntungkan bagi mereka. Dan kalau penjelundupan mengakibatkan membandjirnja barang-barang dan menurunja harga-harga, maka para pembeli itu tidaklah terlampau bersedih hati. Sebagian orang berpendapat bahwa penjelundupan harus diberantas karena melanggar ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan jang sah. Orang jang lebih sophistikasinja tidak berhenti disitu sadja tapi mengatakan bahwa disamping itu penjelundupan meng-urangi penerimaan negara dan dengan itu merugikan masjarakat. Benarkah bahwa merugikan pemerintah identik dengan merugikan masjarakat? Tidak selamanja. Dalam hal penjelundupan, penerimaan Negara berkurang berarti penerimaan sementara orang naik. Setjara netto ini akan merugikan masjarakat pemerintah sebenarnja lebih pandai dan lebih mampu daripada swasta untuk menggunakan uang itu guna menaikkan kesedjahteraan rakjat, misalnja untuk membuat gedung-gedung sekolah, perbaikan djalan dsb. Akan tetapi hal itu akan menguntungkan masjarakat apa bila sipenerima pendapatan itu lebih mampu daripada pemerintah, dan bersedia untuk menggunakan-nja setjara produktif, misalnja untuk investasi dibidang industri pengangkutan dsb. Dalam keadaan sekarang jang lebih mentjelaskan kiranja adalah pengaruh penjelundupan itu pada sektor perdagangan dan produksi dalam negeri. Kita sering mendengar keluhan importir-importir tekstil dan barang-barang kelontong bahwa mereka jang mendatang-kan barang-barang menurut prosedur jang lazim tidak sanggup bersaing melawan pedagang-pedagang dan oknum-oknum jang senang kepada djalan jang inkonvensionil. Barang-barang selundupan didjual dipasar dibawah harga jang wadjar. Akibatnja importir bonafide terpaksa menghentikan impor barang-barang tersebut, dan beralih pada barang-barang lain atau lebih baik membeli sadja barang-barang selundupan itu di Pasar Pagi atau Glodok dan kemu-mendjualnja lagi dengan sekedar keuntungan. Keberatan kita ter-hadap perkembangan sematjam itu adalah bahwa ia tidak memupuk kebiasaan dan organisasi perdagangan jang baik. Ia tidak mendidik tenaga-tenaga ahli disektor komersiil jang kelak akan diperlukan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia jang modern. Jang terkena pukulan oleh penjelundupan, disamping pedagang-pedagang bonafide, adalah djuga produsen-produsen dalam negeri. Mereka mendapat persaingan jang tidak adil sehingga banjak diantara mereka jang terpaksa menghentikan usahanja. Akan tetapi, ketjuali menghadapi "dumping", mengapa produsen dalam negeri tidak sanggup bersaing dengan barang-barang selundupan itu? Bukankah produsen barang-barang selundupn itu dinegaranja djuga dikenakan padjak? Dan bukankah untuk mengangkut barang-barang itu dari luar negeri diperlukan biaja jang tidak sedikit? Dan meskipun barang-barang itu lolos dari pembajaran bea masuk jang biasa, tapi pemiliknja djuga harus mengeluarkan ongkos-ongkos tidak resmi untuk pedjabat-pedjabat jang sekongkol dengannja. Ditambah lagi dengan unsur risiko jang lebih besar daripada biasa, maka sebenarnja biaja bagi penjelundup tidaklah ketjil. Walaupun demikian mengapa produsen-produsen dalam negeri tidak sanggup bersaing? Alasannja adalah karena biaja produksi disini tinggi. Karena ongkos angkutan tinggi, tenaga listrik mahal, tingkat bunga tinggi, banjak gangguan dari pedjabat-pedjabat padjak, kurang tenaga ahli dsb. Pokoknja: karena produsen diluar negeri lebih effisien dan hiaja produksi mereka lebih rendah. Kalau memang demikian keadaannja maka masalahnja bukan sekedar penjelundupan sadja tapi menjangkut keadaan perekonomian kita pada umumnja jang masih belum memuaskan. Dilihat dari segi itu maka penjelundupan jang meluas adalah manifestasi dari keterbelakangan ekonomi Indonesia. Penjelundupan di Indonesia bukanlah masalah baru. Sedjak sebelum perang pemerintah sudah menghadapi masalah ini. Sebagian soalnja timbul karena letak Singapura jang begitu dekat sehingga praktis berada didalam wilajah negara kita, dan keadaan geografis kepulauan Indonesia jang membuat pendjagaan amat sukar. Tapi masalahnja sekarang djauh dipersulit karena aparatur pemerintah jang kurang bisa dipertjaja. Dengan aparat seperti itu kemampuan pemerintah untuk mendjalankan tanpa otektir sangatlah terbatas. Makin sempurna aparatur pemerintah makin tinggi tarif impor protektif jang bisa di laksanakannja. Dipandang dari sudut itu maka tarif impor efektfl jang djauh lebih rendah dari tatif resmi adalal ukuran inefisiensi administrasi negara. Dan administrasi negara jang lemah adalah pula suatu manifestasi dari keterbelakangan ekonomi. Dengan demikian maka dalam djangka pandjang penjelesaian dari masalah penjelundupan ini tidak lain adalah menghilangkan keterbelakangan ekonomi. Djika kita berhasil memperbaiki prasarana ekonomi, menurunkan tingkat bunga, menambah keahlian dan ketrampilan dsb, dan apabila kita berhasil memperbaiki organisasi dan aparatur administrasi negara dan administrasi perusahaan-perusahaan sehingga produktivitas pada umumnja meningkat, maka masalah penjelundupan akan djauh lebih mudah untuk ditanggulangi. Akan tetapi penjelesaian seperti itu akan memakan waktu jang lama. Dalam djangka pendek harus diusahakan mengurangi penjelundupan dengan djalan menurunkan setjara drastis tarif impor, sehingga akan mengurangi kegairahan pedagang untuk menjelundup dan akan mengurangi kesempatan pedjahat-pedjabat untuk sekongkol. Penurunan tarif impor barang-barang tertentu dari ratarata 140%, mendjadi 105% baru-baru ini belumlah memadai. Bea masuk 105% masih terlalu tinggi karena masih merangsang untuk menjelundup dan karena aparat pemerintah masih terlalu lemah untuk bisa meng-efektif-kan tarif setinggi itu. Tarif impor harus diturunkan dibawah itu lagi agar supaja mempunjai pengaruh pada penjelundupan. Proteksi bagi produsen dalam negeri, bila diperlu- kan. dapat ditambah dengan tjara-tjara lain dan tidak terutama digantungkan pada bea impor jang tinggi. Tapi sekali lagi, dalam djangka pandjang penjelesaian hanja bisa dicapai dengan memper-baiki efisiensi produksi dalan negeri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus