Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
"JANGAN remehkan titik dan koma," demikian ucap seorang laki-laki berusia 74 tahun—pada saat kolom ini saya tulis—bernada tinggi sembari mencoret-coretkan pena pada sebuah lembaran surat resmi yang disodorkan sekretarisnya. Di usia senja, ia masih petah. Diksi yang ia ucapkan atau dia tuliskan sering mengagetkan orang. Kata ”peradaban”, misalnya, bisa dibilang ucapan khas tokoh berpenampilan sederhana ini. Lantaran kapasitas dan tradisi linguistiknya yang bagus, ia bisa melahirkan tulisan kritik pedas menjadi bacaan yang lugas. Ia pengguna bahasa Indonesia yang teliti, bahkan ketika ia menulis sebuah artikel dengan menggunakan media telepon seluler dalam kondisi badan lemah di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit. ”Membangun peradaban itu dimulai dari titik dan koma,” katanya melanjutkan ucapannya.
Andai saja Anda langsung mengetahui siapa orang yang berintegritas tinggi untuk ”menjadi” Indonesia melalui cara berbahasa yang baik dan benar yang saya maksud itu. Izinkan saya menggambarkan tokoh tersebut, tentu dengan alasan utama bahwa ia bisa menjadi contoh dalam hal etos berbahasa Indonesia, bahkan bila hal itu dikaitkan dengan integritas intelektualnya. Tradisi linguistik sang tokoh bisa dijadikan cermin bagi para elite di negeri ini, bahkan Presiden Yudhoyono. Simaklah logat Kepala Negara ketika mengatakan ”profesional” saat berpidato, misalnya.
Pendidikan tinggi sang tokoh ditempuh di Barat. Bahkan, lantaran kapasitasnya, ia pernah malang-melintang di banyak negara untuk mengajar, khususnya di bidang kajian keislaman dan sejarah, seperti di Universitas McGill, Kanada, dan sejumlah kampus kenamaan di luar negeri, tak terkecuali di universitas almamaternya, Universitas Chicago, Amerika Serikat. Tentu saja, ia mengajar dalam bahasa Inggris. Tapi, pada saat berada di negeri sendiri, ia jarang berbahasa atau menggunakan istilah asing.
Sebaliknya, sejarawan tiga zaman ini justru giat mencetuskan, setidaknya gemar mempopulerkan, beberapa kosakata atau istilah yang menyegarkan, serangkaian terminologi yang di negara-negara Barat telah lama digunakan dan sangat baik untuk dimengerti publik Indonesia, seperti membumikan (Al-Quran) dan mencerahkan pusat kesadaran. Sebagian orang menggunakan istilah landing to earth, atau down to earth, untuk mengartikan istilah ”membumikan”.
Padahal, ”membumikan” (wahyu Tuhan) adalah suatu makna terminologis, dan bukan sekadar kata (leksikal) berimbuhan, yang artinya lebih dekat ke beberapa istilah: pribumisasi, indigenisasi, atau kontekstualisasi, yakni upaya pemaknaan secara kontekstual dan bertanggung jawab terhadap pesan-pesan langit (wahyu) sebagai rekomendasi moral atau pandangan dunia untuk diimplementasikan ke dalam realitas sosial (peradaban) di muka bumi.
Ucapan sang tokoh, ”membangun peradaban itu dimulai dari titik koma”, adalah bukti kepeduliannya terhadap etos berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bisa jadi, itu sekaligus merupakan ungkapan keprihatinannya terhadap kondisi moral berbangsa di tingkat elite yang berpotensi menurunkan kualitas peradaban di negeri ini. Dalam tinjauan tata bahasa, titik adalah tanda berhenti—akhir dari sebuah kalimat—dan koma adalah tanda jeda, sebelum susunan kata-kata berikutnya pada sebuah kalimat dilanjutkan. Kedua tanda baca tersebut berperan menunjukkan struktur suatu tulisan.
Sebagai ucapan satire, artikulasi sang tokoh diniatkan untuk menyoroti kenyataan Indonesia yang amburadul akibat ulah para elite yang korup. Pesan ini bisa dibaca pada artikel opininya di sebuah harian berjudul ”Bubarkan KPK!”. Pembaca tahu di mana posisi sang tokoh dalam setiap misi pembersihan negara dari aksi-aksi penggarongan terhadap aset-aset negara oleh jaringan oknum yang tidak mencintai Indonesia. Ia beropini bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, termasuk oleh lembaga yang ia maksud, harus dilakukan tanpa ”koma” dan ”titik”. Dalam waktu yang sama, ”titik” mewakili ungkapan imperatif bahwa semua bentuk tindak kejahatan korupsi harus dihentikan—sekarang juga.
Demikian bahasa, ia alat ekspresi masyarakat dalam berkomunikasi, termasuk untuk menyampaikan gagasan serta nilai-nilai tertentu, baik secara terang-terangan maupun satire. Nilai-nilai yang senantiasa penting maknanya bagi suatu ikhtiar pembentukan peradaban bangsa itu harus dikomunikasikan, dan sang tokoh telah mengemukakan ide-idenya itu secara cermat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Meski berpembawaan serius, ia juga seorang humoris. Sang tokoh menyukai sastra, hal yang membuat ia lentur dalam mengapresiasi kenyataan hidup. Ketika sang tokoh mengenang masa-masa kecil sebagai seorang yatim piatu di era sulit akibat pecah sejumlah pemberontakan di daerah, tapi ia bertekad bulat untuk meneruskan sekolah hingga ke jenjang yang tinggi, ia berucap, ”Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak.”
Sang tokoh itu adalah putra Sumpur Kudus, Sumatera Barat, Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang kini (per 31 Mei) genap berusia 75 tahun. Ia—biasa disapa Buya—adalah seorang guru dari semua guru bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo