Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amarzan Loebis
DI sebuah surat kabar Medan,- sekitar tujuh pekan lalu, saya menemukan kepala berita "Ti-ga Komplotan Perampok Bersenpi Dibekuk". Hal pertama- yang bisa saya pahami dari kepala be-rita ini adalah, ada tiga komplotan pe-ram-pok dibekuk oleh petugas keaman-an. Jika masing-masing komplot-an diasumsikan beranggotakan mini-mal ti-ga orang, para petugas keamanan da-lam sekali gebrak menangkap, paling tidak, sembilan perampok. Hal yang ti-dak saya pahami adalah: dari jenis apa gerangan "perampok bersenpi" itu.
Setelah membaca tubuh berita, pahamlah saya akan duduk perkara-mes-kipun perkara yang sesungguhnya- ma-sih menimbulkan berbagai soal, mi-sal-nya "tiga komplotan" itu. Tubuh- be-rita menjelaskan, perampok yang di-tangkap cuma tiga orang. Jadi, seyo-gianya penulis menyatakan, polisi me-nang-kap satu komplotan berang-gota-kan tiga perampok. Dengan dalih "ba-ha-sa jurnalistik", kekeliruan se-per-ti ini kini makin banyak "mengemuka"-meminjam istilah yang paling- disukai para birokrat. Kekeliruan- ini- berulang-ulang terjadi, misalnya da-lam bentuk "seratus pasukan", padahal yang dimaksudkan adalah satu pasukan yang terdiri dari seratus orang.
Adapun "bersenpi" itu, nah, ternyata tiada lain daripada bersenjata api. Saya tidak berhasil melacak, sejak kapan singkat-menyingkat seperti ini masuk ke dalam budaya tulis media massa Medan-atau kota lain, barangkali. Di koran yang sama, saya juga me-nemukan berita tentang kericuh-an di sua-tu daerah kecamatan karena kacau-nya "distribusi minah". Sempat seje-nak saya berpikir "porno" sebelum akhirnya paham, yang dimaksud adalah distribusi "minyak tanah".
Sepekan kemudian saya ke Yogya-karta, diundang beberapa teman untuk ikut memikirkan pelembagaan sebuah gagasan. Yani Saptohudoyo meng-ajak saya berziarah ke makam suami-nya, yang notabene sahabat saya, di ma-kam para seniman di Imogiri. (Di de-kat makam Saptohudoyo ada ku-buran kecil de-ngan nisan bertulisan "Philip von Sap-tohudoyo". Itu-lah "ma-kam" ayam jago kesa-yang-an Mas Sapto; na-ma-nya Philip).
Berkelilingkeliling di Yo-g-ya, memasu-ki- Sleman,- sa-ya menemukan merek- toko d-e-ngan alamat: Ja-kal 45. Se-telah memper-hatikan agak saksama, itu bukan satu-satunya- toko ber-alamat- Jakal. Teman-te-man Yogya se-gera menje-laskan, mak-sud-nya J-a-lan Kaliurang. Di kota pleset-an itu, ternyata, sudah la-ma Jalan Ka-liurang di-ringkas Jakal, Ja-lan Taman Siswa disingkat Tamsis, dan sete-rusnya. (Ketika saya ke Denpa-sar, pe-kan beri-kutnya, di sana pun Jalan Ga-tot Soebroto sudah disingkat Gatsu!)
Di wilayah tutur, "akronimisme" memang sulit dihindari, bahkan pada be-berapa kalangan justru dianggap pe-nan-da "kreativitas". Tetapi, bila memasuki wilayah tulis, para penggu-na, terutama pekerja media massa, seyo-gia-nyalah berpikir berkali-kali. Apalagi jika singkatan itu, tanpa setahu pemakai, mengandung makna ter-sen-di-ri, seperti "Jakal", yang me-nurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ber-arti "anjing hutan yang berbulu ku-ning, terdapat di Afrika dan Asia".
Kalangan internal majalah Tempo, misalnya, adalah yang per-tama menggu-nakan ringkasan "ja-brik" untuk pe-nanggung ja-wab rubrik. Tetapi- akronim itu tidak pernah masuk ke dalam ba-hasa- tulis T-empo. Berbe-da de-ngan "dangdut"-ini juga "pene-muan" Tempo-yang dio-lah dari imi-tasi bunyi, seperti- istilah "tulalit" un-tuk- telepon (belakang-an, pem-bicaraan) yang tidak nyambung.
Penggunaan akronim yang berle-bihan di wilayah formal mudah seka-li- menimbulkan kericuhan di be-la-kang- hari. Setelah 41 tahun Peristiwa- G30S, misalnya, masih pahamkah ge-nerasi- sekarang bahwa Jalan Tupa-rev itu m-aksudnya Jalan Tujuh Pah-lawan Revolusi? Atau Jalan Otista itu maksudnya Jalan Otto Iskandar Di-nata? Jangan-jangan, "perampok ber-senpi di Jakal" pun sudah sangat membingungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo