Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perang Iran-Irak

Tak seluruhnya benar bahwa revolusi iran hanya karena "nasionalisme persi". faktor sejarah islam, yakni kaitannya dengan kaum syiah, juga berperan. tapi greget nasionalisme juga penyebab perang iran-irak.

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah lelucon tentang Ayatullah Khomeini dan penyanyi wanita. Lelucon ini beredar di Iran menjelang jatuhnya rezim Pahlevi di tahun 1979. Pada suatu hari, begitulah kata sahibul lelucon, Khomeini ditanya siapakah gerangan penyanyi wanita yang paling ia gemari. Jawab Khomeini kontan: Haideh. Kenapa Haideh? Jawab Khomeini lagi "Ba regime mokhalef bud." Kalimat itu mengandung makna ganda -- dan itulah inti lelucon tersebut. Yang pertama, Ba regime mokbalef bud berarti, kurang lebih, "Wanita itu menentang rezim." Yang kedua, kalimat itu berarti, "Wanita itu menentang diet." Haideh memang seorang penyanyi bertubuh gembrot, Ratmi B-29 versi Iran. Dan kata regime (seperti asal-usulnya, bahasa Prancis) memang bisa ditafsirkan sebagai "pemerintahan" tapi juga bisa diartikan sebagai "pantang makan". Meskipun bisa dibilang sedikit kurang ajar, lelucon itu pada dasarnya tak untuk mencemooh sang Ayatullah. Tokoh-tokoh besar selalu punya lelucon tentang diri mereka. Yang pasti, lelucon tentang Khomeini dan Haideh adalah sebuah ilustrasi tentang semangat waktu itu: militansi suatu penentangan. KITA sudah sering diberitahu, bagaimana umat Islam Syi'ah punya sejarah panjang dengan semangat penentangan. Mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang diperlakukan tidak adil. Bagi mereka, setelah Nabi wafat, kepemimpinan umat Islam seharusnya jatuh ke Ali, menantu dan pengikutnya yang berhati mulia. Ali memang kemudian memimpin. Tapi sebagai khalifah ia hanya pendek usia: ia dibunuh di Kufah, sebuah kota yang kini berada di wilayah Irak. Putranya yang tertua, Hasan dikisahkan meninggal diracun oleh Mu'awiyah, Gubernur Suriah, yang ingin memonopoli kekuasaan. Mu'awiyah juga kemudian yang memungkiri janji untuk mengangkat Hussain, putra Ali yang kedua, sebagai khalifah. Ia malah menobatkan anaknya sendiri, Yazid, dan Yaid ini pula yang kemudian dengan buas membinasakan Hussain di padang pasir Karbala. Dalam sebuah cerita Syi'ah, tragedi di Karbala itu bahkan sudah diberitahukan Tuhan kepada Adam, ketika manusia pertama ini buat pertama kalinya ke bumi. Sewaktu melintasi padang Karbala, begitulah ceritanya, Adam tiba-tiba merasa dirundung sedih dan kakinya mendadak luka. Adam bertanya kepada Tuhan kenapa dan Tuhan menjawab. "Salah seorang keturunanmu kelak akan meninggal di sini oleh ketidakadilan dan penindasan." Apa yang dianggap ketidakadilan dan penindasan oleh kaum Syi'ah dalam versi lain justru suatu awal perkembangan peradaban Islam yang lebih kokoh. Tapi baiklah sejarah begitu luas dan penafsiran begitu banyak. Yang pasti nampak dari riwayat kaum Syi'ah ialah bahwa Islam sebagai ideologi pemersatu terkesan hanya efektif semasa Nabi hidup. Sebaliknya kaum Sunni, yang menghormati keempat khalifah secara sepadan, tentu punya kesan yang lain. Mana yang benar, bukan satu hal yang akan dipersoalkan di sini. Perbedaan kaum Syi'ah dengan kaum Sunni dewasa ini juga mungkin terlalu dibesar-besarkan -- seolah-olah politik dan perang di Timur Tengah kini terutama bersumber dari soal itu. Namun suatu paradoks bisa terjadi: Islam yang seruannya universal justru menjadi sesuatu yang penuh energi bila berbicara dalam aksen nasionalis. Di masa dinasti Safawi di Iran, abad ke-16, misalnya, ketika Syi'ah menjadi agama negara, kecenderungan nasionalisme begitu rupa hingga mujtahid terbesar waktu itu, Majlisi, lebih banyak memperhatikan soal ziarah ke tempat suci lokal daripada ziarah ke pusat Islam sedunia -- Mekah. *** TAK seluruhnya benar bahwa semangat revolusi Iran yang dipimpin Khomeini kini hanyalah "nasionalisme Persi" seperti yang dituduhkan Irak. Namun sonder gereget nasionalisme, baik dari Iran maupun dari Irak, perang tak akan pecah. Lalu bagaiman "persaudaraan Islam"? Persaudaraan Islam, persaudaraan Kristen, persaudaraan sosialis -- alias internasionalisme -- kini memang jadi ganjil rasanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus