Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perang Media Sosial Tiada Akhir

Media sosial adalah kekuatan baru dalam pengaruh politik. Berbagai peristiwa politik kontemporer di seluruh sudut dunia melibatkan adanya peran media sosial yang dahsyat.

5 September 2018 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suwatno
Guru Besar Komunikasi Organisasi UPI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Media sosial adalah kekuatan baru dalam pengaruh politik. Berbagai peristiwa politik kontemporer di seluruh sudut dunia melibatkan adanya peran media sosial yang dahsyat. Gerakan 212 menjadi saksi sejarah pengorganisasian massa berbasis penggunaan media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena semacam ini telah dibayangkan oleh teoretikus semacam Marshall McLuhan sejak 1960-an dengan mewacanakan gagasan "desa global". Berkat penemuan Internet dan Web 2.0, sekat-sekat ruang dan waktu dalam pertukaran informasi di seluruh dunia dapat dipangkas. Thomas L. Friedman menyebutnya sebagai "dunia yang datar" (flat world).

Setelah Web 2.0, dunia komunikasi kemudian dikejutkan dengan Web 3.0 dan yang terbaru Web 4.0. Kecerdasan Web 3.0 dapat menghubungkan, mengintegrasikan, dan menganalisis data dengan berbagai pengaturan untuk memperoleh arus informasi baru (Aghaei dkk, 2012).

Adapun Web 4.0 adalah penemuan tercanggih. Motifnya adalah interaksi manusia dengan mesin secara simbiosis. Dengan web ini, mesin bisa lebih pintar dalam membaca konten dan memutuskan sendiri apa yang akan muncul lebih dulu untuk tampil di situs web secara cepat dengan kualitas dan kinerja yang superior. Web ini dapat menjadi paralel dengan otak manusia dan meningkatkan interaksi kecerdasan. (Choudhury, 2014).

Kita tidak bisa membayangkan apabila Web 4.0 nantinya dipakai untuk agenda diseminasi pesan-pesan politik. Perang politik masa depan tidak akan membutuhkan lagi "pasukan medsos". Berbagai bentuk kreasi isu dan penyebaran narasi politik dapat dilakukan oleh mesin. Perangkat tersebut bahkan mungkin bisa diatur sebagai mesin propaganda yang bekerja secara otomatis.

Jika cara pikir propagandis dalam perang medsos hari ini terus dipertahankan, tidak akan ada seorang pun yang mampu memprediksi kapan fenomena ini akan berakhir. David Patrikarakos, penulis buku War in 140 Characters: How Social Media Has Transformed the Nature of Conflict, mengatakan, menuliskan bahwa kemampuan media sosial dapat menjadikan orang non-kombatan (orang biasa) memiliki kekuatan untuk mengubah arah medan perang fisik dan narasi wacana di sekitarnya.

Media sosial, menurut David, telah memberkahi setiap orang dengan dua kemampuan penting: memproduksi konten dan membentuk jaringan hingga skala transnasional. Karena itulah dewasa ini bermunculan banyak agen politik baru yang memiliki kekuatan pengaruh hampir setara dengan media arus utama. Selain itu, media sosial memberikan peluang untuk mempertemukan mereka yang memiliki kesamaan frekuensi (kepentingan) sehingga konten yang awalnya terserak-terpisah berubah menjadi satu gerakan kolektif.

Perang politik di medsos agaknya tidak dapat disetop dalam waktu dekat. Banyak pengamat media mengatakan hal demikian. Bahkan, amplitudonya akan kian menguat menjelang Pemilihan Umum 2019. Apakah fenomena ini dapat dikurangi dengan memakai regulasi, misalnya, dengan pendaftaran akun resmi? Banyak yang pesimistis, termasuk saya.

Perang di medsos ini hampir mirip seperti peredaran konten-konten porno. Pemblokiran konten-konten asusila mungkin dapat meminimalkannya, tapi tidak mengurangi jumlahnya. Konten-konten demikian sepertinya akan tetap tumbuh subur selama ada fabrikasi. Lagi-lagi ini menyalahkan kapitalisme. Tapi itu fakta yang tidak perlu pura-pura diingkari. Perselingkuhan kapitalisme, teknologi, dan politik dalam iklim demokrasi liberal dan logika mekanisme pasar menghasilkan perang cyber yang tidak kunjung usai.

Seruan moral juga tak bisa mengeremnya. Buktinya, fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang penyebaran berita bohong (hoax) seolah tidak banyak mengubah atmosfer media sosial. Ketegangan dan konflik di dunia maya masih berlangsung sengit. Perisakan, fitnah, dan ujaran kebencian masih menghiasi ruang-ruang diskursus publik.

Lalu, apa solusinya? Boleh jadi edukasi akan berperan signifikan, tapi efeknya jangka panjang. Namun lebih baik kita berbuat daripada mengutuk keadaan. Ikhtiar untuk membangun sikap dan karakter bermedsos yang sehat dan bijaksana harus dilakukan secara integratif. Selain melalui regulasi, seruan moral, dan pendidikan, juga harus ada kehendak dan keberanian para pemain di arena ini untuk menunjukkan perlombaan yang sportif.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus