Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perang Ukraina dan Nasib Pengungsi

Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga, memaparkan masalah pengungsian akibat perang Rusia-Ukraina. Penderitaan bagi para pengungsi.

4 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pasukan Rusia terus menggempur Ukraina.

  • Korban berjatuhan, baik dari kalangan militer maupun masyarakat sipil.

  • Perang ini memicu gelombang pengungsi ke berbagai negara.

Bagong Suyanto
Dekan FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang sesungguhnya adalah bentuk paling purba dari cara menyelesaikan perbedaan dan ketidaksepakatan. Ironisnya, di zaman modern yang sudah pada level peradaban tinggi ini, perang ternyata tetap menjadi pilihan yang enggan dielakkan dan memicu gelombang pengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Rusia-Ukraina yang dimulai oleh Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin, adalah salah satu petaka yang kini tengah mengusik nurani kemanusiaan masyarakat dunia. Putin memerintahkan pasukannya menggempur negara tetangganya itu dengan dalih melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.

Pertempuran terjadi hampir di seluruh wilayah Ukraina. Korban yang jatuh tidak hanya dari kalangan militer, tapi juga masyarakat sipil. Anak-anak dan perempuan adalah korban pertama yang paling menderita dari situasi konflik yang kini melanda negeri itu.

Akibat gempuran yang dilancarkan pasukan Rusia, sejumlah bangunan dan fasilitas publik di Ukraina rusak parah. Masyarakat Ukraina, yang semula hidup tenang, kini nasibnya berubah 180 derajat. Tidak sedikit dari mereka kini yang menjadi pengungsi. Warga negara Indonesia di sana juga terpaksa mengungsi.

Voutira & Herrel-Bond (1996) menyatakan, yang dimaksud dengan pengungsi akibat perang di sini bukan sekadar orang yang mencari keselamatan. Mereka adalah orang-orang yang terpaksa melintasi perbatasan internasional akibat ancaman politik tertentu, agresi dari luar, pendudukan, dominasi asing, dan berbagai kejadian yang mengganggu tatanan publik.

Gempuran pasukan Rusia telah merusak fasilitas penting, seperti fasilitas air bersih, kesehatan, pendidikan, dan rumah-rumah penduduk. Meski Rusia mengklaim tidak menyerang bangunan publik sipil, rumah-rumah penduduk dan rumah sakit dilaporkan tidak luput dari serangan Rusia.

Beberapa badan atau lembaga internasional, seperti UNICEF, telah berusaha memastikan kesediaan air bersih, pemenuhan kesehatan, dan mengusahakan sekolah-sekolah darurat. Mereka juga memberikan layanan konseling psikologis bagi anak-anak yang menjadi korban perang. Tapi masyarakat sipil yang ketakutan dilaporkan banyak yang terpaksa mengungsi dan bahkan lari ke luar negeri.

Selain dampaknya yang luar biasa merusak infrastruktur kota, perang di mana pun mengakibatkan munculnya para pengungsi yang membutuhkan perhatian kita semua. Bagi penduduk laki-laki berusia 17-60 tahun di Ukraina, mereka memang telah diinstruksikan untuk tidak mengungsi dan menjadi bagian dari pasukan penunjang yang bersiap melawan Rusia. Tapi perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia terpaksa mengungsi untuk mencari perlindungan.

Para pengungsi akibat perang Ukraina ini menambah panjang daftar orang-orang yang terpaksa mengungsi karena perang. Selain di Ukraina, tidak sedikit negara yang hingga saat ini masih dilanda perang berkepanjangan.

UNHCR melaporkan, sampai pertengahan 2020, perang dan gejolak kekerasan masih terjadi di Suriah, Republik Demokratik Kongo, Mozambik, Somalia, dan Yaman. Demikian pula di sejumlah negara lain yang terlibat dalam perang, yang menyebabkan masyarakat sipil yang tidak bersalah ikut menjadi korban. Perang dalam skala apa pun senantiasa memaksa penduduk sipil mengungsi dari tempat tinggal asal untuk menyelamatkan diri, baik di tempat pengungsian di dalam negeri maupun lari ke negara lain.

Ada sejumlah situasi problematik yang biasanya dihadapi penduduk sipil akibat perang. Pertama, ancaman kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi, terutama dari pasukan musuh yang menyerbu wilayahnya. Tidak sedikit penduduk sipil yang menjadi korban kekerasan brutal, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.

Kedua, bagi penduduk sipil yang berhasil mengungsi, bukan berarti penderitaan mereka telah berakhir. Selama di kamp pengungsian, mereka hidup serba kekurangan dan bahkan terisolasi dari dunia luar. Tidak adanya jaringan telepon, Internet, listrik, dan bahan bakar sering menyebabkan mereka seolah-olah terputus komunikasinya dengan keluarga dan dunia.

Ketiga, berkaitan dengan terjadinya pandemi Covid-19, nasib pengungsi menjadi kian tidak menentu. Di puncak gelombang pertama pandemi pada April 2021, misalnya, 168 negara dilaporkan telah menutup pintu perbatasannya, baik penuh maupun sebagian. Bahkan 90 negara di antaranya sama sekali tak mau memberikan pengecualian kepada para pengungsi akibat perang yang mencari suaka.

Para tokoh dunia, presiden, selebritas, ataupun elite politik banyak yang mengutuk pecahnya perang Rusia-Ukraina. Putin, yang menjadi otak serangan, menjadi sosok yang paling banyak dikecam.

Angelina Jolie, artis dan duta Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), misalnya, mengajak masyarakat berdoa bagi rakyat Ukraina melalui akun Instagramnya. Dia bersama UNHCR juga akan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap korban perang yang telantar dan kini menjadi pengungsi.

Ratusan ribu penduduk Ukraina meninggalkan rumah mereka untuk mencari keselamatan dan perlindungan. Para pengungsi ini makin menambah panjang daftar jumlah pengungsi di dunia akibat perang.

Di seluruh dunia, pada 2020 tercatat jumlah pengungsi akibat perang dan penganiayaan mencapai lebih dari 80 juta—dua kali lipat dari jumlah pengungsi dua dekade silam. Setiap hari diperkirakan terjadi sekitar 37 ribu perpindahan baru penduduk karena harus mengungsi. Jumlah ini sangat mungkin terus bertambah ketika para pemimpin dunia masih menganggap perang sebagai jalan keluar untuk mewujudkan ambisi dan kepentingannya.

PBB telah mengimbau semua pihak yang bertikai agar menyepakati gencatan senjata, terutama selama pandemi Covid-19. Tapi tidak sedikit pemimpin negara yang mengabaikannya. Sepanjang kekuasaan dan keserakahan masih menghantui elite politik, sepanjang itu pula masyarakat akan terancam menjadi korban perang. Mengurangi dan menangani para pengungsi tidak akan dapat dilakukan secara efektif jika perang masih menjadi solusi bagi para penguasa tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus