Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PEMERINTAH Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta semestinya berusaha lebih keras meningkatkan kualitas udara. Polusi udara di Jakarta amat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan konsentrasi polutan di udara yang masih aman berada di bawah 10 mikrogram per meter kubik. Di Jakarta, jumlah polutan di udara selama semester pertama tahun ini, menurut data situs Air Visual, mencapai rata-rata 37,8 mikrogram per meter kubik, dengan varian tertinggi 152 mikrogram di beberapa lokasi. Parameter pengukurannya didasarkan pada polutan yang memiliki ukuran kurang dari 2,5 mikrometer, atau dikenal sebagai PM 2,5
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, penyebab utama polusi udara di Jakarta adalah kendaraan bermotor. Pemerintah Jakarta bisa memulai dengan menertibkan biang polusi ini. Jalankan uji emisi kendaraan bermotor secara ketat dan larang kendaraan-kendaraan yang tidak memenuhi standar baku emisi beroperasi. Tak ada salahnya pula memberlakukan zona rendah emisi, yang hanya boleh dilalui kendaraan beremisi rendah, di daerah-daerah padat.
Sementara itu, layanan transportasi massal, terutama yang menggunakan energi listrik dan gas, perlu terus ditingkatkan. Angkutan publik yang nyaman dan memiliki jangkauan luas diharapkan mendorong masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi.
Pemerintah DKI sebetulnya telah memiliki cukup banyak panduan dan aturan yang jika dijalankan dengan benar akan sangat membantu perbaikan mutu udara. Peraturan Daerah Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, misalnya, mengatur mengenai penggunaan bahan bakar gas dan listrik yang lebih ramah lingkungan bagi angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah. Kalau saja hal ini dipatuhi, udara di Ibu Kota pasti akan jauh lebih bersih.
Penyebab terbesar polusi udara di Jakarta, setelah kendaraan bermotor, adalah pabrik. Ini pun mesti ditata, dan sebenarnya sudah ada aturannya. Bahkan sejak 2000 Jakarta telah memiliki keputusan gubernur yang dikeluarkan oleh Gubernur Sutiyoso mengenai relokasi industri di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perusahaan yang perlu direlokasi, menurut keputusan itu, pertama-tama adalah yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Hanya, lagi-lagi realisasinya berantakan.
Langkah lain yang juga penting adalah merealisasi target ruang terbuka hijau sebesar 30 persen, sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2030. Saat ini ruang terbuka hijau di Ibu Kota baru 14,9 persen. Ruang terbuka hijau akan menjadi paru-paru kota, yang antara lain berperan sebagai penyerap racun di udara. Contohlah Singapura, yang tidak memberi toleransi sedikit pun kepada bangunan yang mengabaikan rasio ruang terbuka hijau.
Polutan PM 2,5 sangat berbahaya. Warga yang terpapar dalam jangka panjang dapat menderita gangguan pernapasan akut, asma, bahkan kanker paru-paru dan penyakit jantung. Pemerintah DKI mesti segera bertindak untuk melindungi warganya dari paparan polutan berbahaya ini dengan memperbaiki kualitas udara Ibu Kota. Sekadar mengimbau agar mengenakan masker di luar ruangan tidaklah cukup.