Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perbedaan Tanpa Rencana

A dan B berdebat soal ukuran moral yg dipakai terhadap penipuan yang dilakukan orang kaya & miskin. B berpendapat bahwa orang miskin yang terjepit juga berhak untuk menipu demi mempertahankan hidupnya.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari becak 'Sebatang kara' dipanggil untuk membeli tetek bengek bahan bangunan. Uang seribu perak diberikan, dengan catatan 'harap pakai bon'. Setelah tawar-menawar, hargapun jadi: pulang-balik dua ratus. 'Ayuh, baik!" ujar si Abang. "Nggak pakai penumpang nih?". Dijawab "enggak". Becak lalu pergi. kelihatan laju, mullgkin karena ringan. Punggung si Abang bengkok, paha dan betisnya pun kelihatan begitu. Satu jam lewat. Dua jam yang ditunggu belum juga muncul. Dan seteiah dipastikan bersama bahwa yang ditunggu tak bakal datang, maka perdebatan tanpa agenda pun dimulai. A: Kamu kenal tukang becaknya? B: Tidak, ada begitu banyak tukang becak di sini. A: Dia akan menganggap kita bodoh. Dan seribu perak adalah sekedar ongkos kebodohan kita. B: Biar saja kalau dia cukup pintar. Saya menganggap seribu perak adalah ongkos kepercayaan kita. A: Kepercayaan seperti itu membuat kita rugi dan membuut kita jadi penipu. Itu sama sekali tidak mendidik rakyat kecil. B: Kebutuhan dia menyebabkan dia punya hak untuk memakai setiap kesempatan untuk memenuhinya. Dia butuh seribu, dia berhak mendapatkan uang seribu. A: Soalnya kamu sudah siap untuk ditipu. Tapi kalau kamu memang rela memberi orang tadi seribu kenapa tidak diberikan begitu saja? Tanpa mencobai dia untuk berbuat jahat? Kamu telah menciptakan kejahatan. B: Saya tidak menganggap dia jahat. Saya menganggap dia butuh. Kebutuhan dia terutama yang membuat dia memutuskan apa akan mengambilnya atau tidak. Saya baru benar-benar merasa tertipu kalau saya memberikan sesuatu kepada orang yang tidak membutuhkan. Tukang becak jelas bukan orang yang kelebihan uang. Menambah kekayaan orang yang sudah kaya, bagi saya memperlakukan diri masing-masing sebagai penipu dan menipu dengan cara yang halal kejahatannya berlipat ganda. A: Menipu is menipu. Kejahatan adalah kejahatan tak halal baik bagi orang kaya ataupun bagi orang miskin. Apa kamu menganggap bahwa orang miskin karena kemiskinannya dapat dibebaskan dari norma-norma kesusilaan. B: Bukan di situ soalnya. Soalnya adalah kesempatan untuk menipu harus juga dibagi rata. Kamu tahu bahwa orang miskin hampir tak punya kesempatan untuk menipu. Mereka semua kebanyakan justru orang-orang yang taat kepada kesusilaan. A: Wah, masyarakat bisa rusak kalau begitu. Apakah kamu suka masyarakat penipu? B: Lho, salah tanggap. Yang saya lihat adalah: tak ada masyarakat tanpa penipu. Tak ada masyarakat bebas penjahat. Nah, saya hanya mau bilang bahwa golongan miskin juga harus diberi kesempatan untuk menipu. Kalau memang menipu adalah cara untuk mendapatkan makan. Jangan hanya golongan kaya yang dibiarkan menipu. A: Apa kamu beranggapan bahwa semua orang kaya penipu ? B: Lho, salah tanggap lagi. Saya hanya bilang bahwa saya merasa tertipu kalau saya tahu bahwa saya memperkaya orang yang sudah kaya. Saya menjadikan mereka penipu, sambil menipu diri sendiri. A: Penipu kecil penipu besar sama saja. Penipu harus diukur dengan nilai etik masyarakat. B: Nah, coba. siapa sebenarnya yang menciptakan nilainilai tersebut? Coba ada orang pandai yang bisa menguraikan genesis dari apa yang kamu sebut ukuran moral. Saya takut nanti jatuhnya akan pada mereka-mereka yang kuat dan kaya. A: Apakah kamu tidak percaya lagi kepada Tuhan? B: Justru karena saya percaya kepada Tuhanlah maka saya anggap perlu bertanya apakah aturan moral yang berlaku di masyarakat kita benar-benar sudah sejalan dengan kehendak Tuhan. Nah, kalau tidak, masa kita tidak bisa bertanya? A: Saya lihat kami cenderung memanipulasikan hukum-hukum Tuhan untuk kepentingan orang miskin. Tuhan tidak memihak siapa-siapa. Ia membenarkan yang benar. B: Itu yang sedang kita bicarakan. Yang benar itu yang bagaimana? Siapa menentukan siapa benar'? Seribu perak yang kita persoalkan adalah seribu-perak untuk kebutuhan mengisi perut. Apa salahnya? Dia melanggar aturan siapa dan untuk apa? A: Tujuan menghalalkan cara inilah dia! Cocok benar urusannya. B: Entah 'tujuan menghalalkan cara', entah 'cara menghalalkan tujuan' itu 'kan cuma cara menyalahkan. Sampai kapok kamu dengan rumusan tak akan mengenyangkan orang yang butuh makan. Yang kita bicarakan adalah tentang uang seribu perak yang dibutuhkan untuk menyambung hidup. Belum tentu kalau anak-bininya sehat-sehat. A: Kamu mengharap anak-bini si Abang tadi sakit? Jadi pemberianmu akan lebih membuat kanzu merasa berjasa. Masih bagus kalau tidak dipakai main. Saya hira itulah alasanmu yang sebenarnya, karena merasa berjasa. Dan perasaan berjasa itu telah menyebabkan kamu haus dengan segala macam argumen tentang keadilan tentang kejahatan orang kaya dan lain sebagainya. Ya to? B: Saya percaya, titik. Saya percaya bahwa ia butuh, saya percaya bahwa tukang becak tak pernah mampu mencukupi kebutuhannya. Justru itulah yang tak bisa saya terangkan dengan argumen apapun. Kecuali bahwa uang seribu perak itu saya relakan. Tak berapa lama si 'Sebatang Kara' datang terengah-engah membawa bahan-bahan bangunan yang dipesan. Bon diberikan, dan perdebatan pun dengan sendirinya selesai, bahkan dianggap tak sah. Segala macam argumen luluh digantikan keheningam Ketika si Abang menurunkan muatan, si A merogoh lima ratus perak dari sakunya. A: Bang ini uang kaget. Maafkan zaman sekarang memang zaman orang kaget melihat kejujuran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus