Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perbudakan dan Penghormatan Hak Asasi dalam Bisnis

Nabhan Aiqani, peneliti Setara Institute, memandang bahwa instrumen hukum nasional belum menyentuh masalah pelanggaran hak asasi dalam bisnis. Negara perlu turun tangan.

17 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Instrumen hukum nasional belum mampu menyentuh aspek pelanggaran hak asasi dalam bisnis.

  • Negara perlu mendorong penerapan perlindungan hak asasi di perusahaan.

  • Panduan Prinsip-prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia PBB dapat menjadi acuan.

Nabhan Aiqani
Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Program "rehabilitasi narkotik" di rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, yang mempekerjakan pecandu narkotik di perkebunan sawit dapat dikategorikan sebagai perbudakan modern. Konstitusi dan berbagai instrumen hukum internasional dengan tegas melarang segala bentuk perbudakan. Namun negara masih lemah dalam mengawasi praktik-praktik bisnis yang berpotensi melanggar hak asasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Instrumen hukum nasional, melalui penegak hukum dan lembaga yudisial, belum mampu menyentuh aspek pelanggaran hak asasi manusia dalam bisnis. Pelanggaran itu dapat berupa pelanggaran terhadap jam kerja, hak atas kehidupan yang layak, pesangon dan gaji yang tidak sesuai dengan standar, serta hak cuti. Perbudakan modern yang dilakukan Bupati Langkat dapat dijadikan momentum untuk mengarusutamakan penghormatan hak asasi dalam aktivitas bisnis.

Dalam perkembangannya, pada 2011, PBB telah menerbitkan Panduan Prinsip-prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia sebagai panduan dalam aktivitas bisnis yang menghormati hak asasi. Salah satu konteks yang diaturnya adalah pemulihan hak asasi bagi korban.

Dalam mekanisme pemulihan hak atau remediasi korban, panduan itu menyediakan instrumen berupa mekanisme yudisial dan non-yudisial berbasis negara serta mekanisme pemulihan berbasis non-negara. Sebagai sebuah pendekatan baru, mekanismenya difokuskan pada peran negara untuk dapat melindungi dan mencegah pelanggaran hak asasi. Negara harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan, melalui lembaga yudisial, administratif, legislatif, atau cara lain yang sesuai, bahwa ketika pelanggaran terjadi di wilayah atau yurisdiksi mereka, mereka yang terkena dampak memiliki akses ke pemulihan yang efektif.

Pemulihan dapat mencakup permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi finansial atau non-finansial, dan sanksi hukuman, baik pidana maupun administratif seperti denda. Ada pula pencegahan kerugian melalui, misalnya, perintah atau jaminan bahwa pelanggaran itu tidak akan terulang.

Sayangnya, mekanisme remediasi dalam hukum nasional hanya tersedia terbatas. Pengadilan khusus hak asasi manusia diberi mandat hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini tidak pernah menangani pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi ataupun personel korporasi. Sebaliknya, lembaga itu berfokus pada sebagian besar pelanggaran oleh aktor negara.

Ada juga pengadilan hubungan industrial atau pengadilan perburuhan yang menangani berbagai masalah perindustrian, buruh, dan serikat pekerja. Namun, karena bersifat ligitatif, masyarakat lokal atau buruh yang sering kali menjadi korban pelanggaran hak asasi dalam bisnis memiliki keterbatasan untuk melakukan pembuktian hukum. Selain itu, prosesnya sangat lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Pelibatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dapat menjadi solusi, terutama menyangkut tanah, tenaga kerja, diskriminasi ras ataupun etnis, bahaya lingkungan, hak atas kesehatan, hak pekerja migran, penggusuran paksa, hak atas pendidikan, hak anak, serta hak perempuan. Namun rekomendasi Komisi bersifat sukarela dan tidak mengikat secara hukum.

Hal ini merefleksikan bahwa mekanisme yudisial berbasis negara maupun non-yudisial belum efektif bagi pemulihan hak korban. Negara dapat mendorong adanya kebijakan untuk menerapkan uji tuntas hak asasi bagi entitas bisnis. Hal ini mewajibkan perusahaan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengurangi dampak buruk pelanggaran hak asasi serta memperhitungkan cara mengatasinya. Perusahaan harus memiliki kebijakan hak asasi yang mengacu pada panduan PBB dan menyediakan akses bagi pemulihan hak korban.

Contoh terbaik agar regulasi ini mengikat bagi perusahaan adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 yang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik menyusun laporan keuangan keberlanjutan. Ini merupakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Ada pula Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan.

Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa penerapan regulasi di tingkat nasional sangat mungkin dilakukan. Pelanggaran hak asasi oleh aktivitas bisnis kini telah menjurus pada perbudakan modern dan sangat patut dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Negara menjadi aktor penting untuk mengatasi dan menghapus segala bentuk kejahatan kemanusiaan tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus