Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAU membangun atau mau lingkungan? Dulu pembangunan dapat
memaksimumkan rancangan. Karena hanya wajib memikirkan soal
teknis. Kemarin, masih lumayan. Masih dapat mengoptimumkan
program, setelah di samping teknis harus juga ada pertimbangan
ekonomis. Lalu ada pertimbangan sosial, budaya, politis. Nah
sekarang ada satu lagi. Biarpun teknis yahud, ekonomis oke,
sosial, budaya, dan politis bisa, masih mesti tambah satu
perkara lagi. Lingkungan hidupis. Lalu apa lagi nama kriteria
rancangan pembangunan semacam itu?
- Barangkali kriteria pembangunan yang seimbang, selaras dan
serasi Pak.
+ Soal hutan misalnya. Bukankah dari Kitab Suci sampai
Konstitusi menegaskan kekayaan alam mesti dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran? Menebang hutan dikatakan merusak
lingkungan, menghancurkan potensi sumber hayati, erosi, dan
entah apa lagi. Siapa yang bilang hutan kesepakatan 35% dari
luas penggunaan tana4 daratan? Siapa yang membuat kesepakatan
Itu? Penjajah, atau patriot?
- Akal sehat barangkali Pak.
+ Mana ada di Negeri Belanda, apalagi Arab Saudi, hutan sebanyak
itu. Kok orangnya bisa gede-gede juga. Bisa pada bewokan lagi.
Akal sehat apa itu.
- Negeri Belanda mungkin menghitungnya dari Kontinen Eropa
Pak. Arab Saudi konon dulu banyak hutan juga, yang sisanya
sebagian sekarang terpendam jadi minyak. Cuma karena ditebang
terus sekuat kantung, yang tertinggal ialah alam tempat rumput
saja sulit tumbuh. Barangkali anak cucu kita ingin tinggal bukan
di padang pasir seperti Saudi Pak.
+ Ah masak iya? Dari zaman Pendawa orang Jawa sudah membabat
hutan. Kok tidak dimarahi dewa. Baru sekarang orang membabat
hutan dikatakan merusak oleh Erna.
- Karena mungkin kita ingin lestari Pak. Tidak punah seperti
keturunan Pendawa. Kehidupan kita sangat ditentukan oleh kondisi
tanah, tersedianya air sepanjang tahun, dan iklim yang belum
rusak Pak. Kelestarian dan keseimbangan lingkungan, kata orang,
ada hubungan dengan keserasian hidup berdampingan antara
berbagai flora dan fauna yang ada Pak.
+ Ambillah soal perlindungan binatang langka. Bukankah itu omong
kosong yang sia-sia. Harimau, gajah, kupu-kupu, kenapa mesti
mengalahkan kepentingan manusia?
- Karena dunia cuma satu Pak. Keberagaman satwa dan tanaman
dilihat dalam kerangka semesta. Menurut aljabar lingkungan,
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian itu berbanding lurus
dengan keberagaman. Maka segala usaha lingkungan diarahkan
sekurang-kurangnya pada mempertahankan ragam yang ada syukur
dapat memperkaya Pak.
+ Apa kamu sudah pernah melihat sendiri harimau Jawa, gajah
Sumatera atau kupu-kupu Seram yang kamu mau lindungi itu?
- Maaf belum, eh, sudah deh Pak. Di kebun binatang.
+ Kalau belum lihat sendiri jangan ngomong. Saya sudah lihat
sendiri. Harimau Jawa masih banyak. Malah ada yang putih.
- Di mana Bapak lihat macan Jawa yang putih, Pak?
+ Di sandiwara ketoprak, lakon Macan Lodoyo.
- Wah, itu macan kampung yang doyan nasi Pak.
+ Apa lagi. Soal cemara kate di Bali, yang dimasalahkan waktu
merencanakan pembangunan pembangkit listrik panas bumi. Kalia
ini ada-ada saja. Banyak cemara jangkung, kenapa yang kate
dimasalahkan ?
- Kata orang, di seluruh dunia hanya ada di Bali Pak. Jadi
sesuai dengan doktrin mempertahankan keberagaman flora semesta
Pak.
+ Enceng gondok dan alang-alang kenapa tidak dilestarikan
sekalian? Kan juga lucu bentuknya. Kalau kepepet ada juga
gunanya.
- Cemara kate, melindungi habitat gunung, mencegah erosi dan
melestarikan keindahan bukit dan pegunungan di Bali yang elok
permai Pak. Satu-satunya di dunia. Katanya Bali mau
dipertahankan sebagai pulau taman, Pak? Enceng gondok dan
alang-alang kalau terlalu banyak mengganggu kehidupan lainnya
Pak.
+ Pilih mana, listrik atau gunung?
- Anu, Pak, pilih semua. Dua-duanya. Cuma listrik, orang bisa
bikin dengan tenaga air, matahari, diesel, mungkin juga nuklir.
Sedang gunung, hutan, dan taman alam, saya tidak tahu apa Bapak
bisa bikin.
+ Bisa. Nenek moyang saya dulu pekerjaannya membuat gunung
memindah taman alam, menyulap hutan jadi duit, eh, jadi taman.
Bahkan menurunkannya dari langit.
- Siapa Pak nenek moyang Bapak itu?
+ Lho, belum tahu to? Kan Mbah Sukrosono, adik Patih Sumantri.
Dulu pejabat resmi negeri ini di bawah Bapak Harjuno Sosrobahu.
- Wah, itu kan wayang kulit Pak.
+ Ada lagi. Selalu saja orang lingkungan memasalahkan tanah
pemukiman transmiran. Padahal sudah diketahui Jawa padat
penduduk mesti dipindah. Sudah diketahui pula, memang mutu
tanah di Kalimantan, Sulawesi, umumnya tidak sebaik di Jawa. Apa
sih maunya?
- Mau memberitahu, kondisi tanah di beberapa daerah transmigran
amat buruk. Di sementara tempat, menurut istilah transmigran
sendiri, sitinipun taksih prawan lahan masih perawan. Pe-hanya
masih tinggi. Bapak tahu itu.
+ Tentu saja saya harus tahu. Memang Siti Lahan masih perawan.
Tetapi setahu saya behanya tidak terlalu tinggi. Juga tidak
besar ukurannya. Saya tahu itu.
- A, anu, Pak. Bukan beha, tetapi peha, kadar keasaman kandungan
tanahnya Pak.
+ Sekarang ganti saya yang tanya. Kenapa Wahana Lingkungan Hidup
tidak mengajak saya? Bukankah saya juga bernapas. Saya toh perlu
udara bersih dari polusi. Manusia seperti kita inilah makhluk
yang paling berkepentingan dalam soal lingkungan. Bagaimana
komentar Anda tentang Jalan Thamrin di Jakarta yang ditutup tiap
hari Minggu pukul lima sampai pukul tujuh pagi. Bukankah itu
juga gerakan lingkungan?
- Baik sekali Pak. Itu semua saya setuju sekali Pak. Cuma,
sayangnya, kita ini semua mesti bernapas terus. Di mana saja,
kapan saja, sampai tua. Tidak hanya di Jalan Thamrin. Bukan
hanya pejalan kaki pagi. Apalagi kalau mau bernapas saja mesti
dijatah cuma dari pukul lima sampai pukul tujuh pagi. Di sekitar
pabrik panci, pembakaran kapur, pabrik semen, kawasan industri,
keramaian lalu lintas kota atau pertambangan. Di desa dan di
kota. Semua orang perlu bernapas terus. Sampai Jibril
memberitahu boleh istirahat bernapas.
Lagi pula, orang bukan cuma dapat dicukupi kebutuhan hidupnya
dengan dupa dan udara. Ia juga butuh makan yang cukup dan
bermuti, minum air bersih dan tidak tercemar, berlindung di alam
yang teduh dan nyaman, hidup sehat jasmani dan rohani, bergaul
dengan sesama, bercengkerama dengan flora dan fauna, dan rasa
aman lingkungan yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Untuk
itulah kita ber-Wahana, Pak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo