Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Nurlia Dian Paramita
Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perempuan hingga kini masih menjadi basis suara strategis dalam kontestasi elektoral. Suara mereka diperkirakan mampu mendongkrak perolehan suara, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Dari data Komisi Pemilihan Umum, terdapat 95,4 juta pemilih perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, di balik itu, akses dan keterpenuhan kebutuhan perempuan dan anak masih belum sesuai dengan cita-cita yang diharapkan. Jadi, momentum politik elektoral tahun ini sangat strategis untuk kembali menata agenda kepentingan nasional atas kebutuhan akses politik perempuan yang selama ini masih tertinggal.
Keterlibatan "suara" perempuan untuk menggunakan hak pilih dalam proses elektoral menjadi bagian penting yang ikut menentukan demokratis atau tidaknya proses yang berjalan. Partisipasi pemilih perempuan mencapai 75,11 persen dalam pemilihan legislatif 2014 dan 70 persen dalam pemilihan presiden 2014.
Namun, setelah lima tahun berlalu, tidak tampak kebijakan yang berarti dalam pemenuhan kebutuhan perempuan dan anak. Pemilu ternyata bisa menghasilkan vote (pilihan), tapi tidak menghasilkan voice (Lee, 2018). Kebijakan yang ada hanya memenuhi kebutuhan praktis, tapi belum mampu memenuhi kebutuhan perempuan jangka panjang sekaligus mengoreksi ketimpangan relasi gender (Margaret, 2018).
Pemerintah pusat berhasil merepresentasikan simbol perempuan melalui keterpilihan sembilan menteri perempuan dari 32 menteri (28 persen). Namun pemenuhan hak perempuan dan anak masih memerlukan pembenahan, dan pemerintah masih belum sepenuhnya sungguh-sungguh memenuhi janjinya.
Kabar baik setidaknya berasal dari putusan Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan batas usia perkawinan berubah, dari 16 tahun menjadi 18 tahun, satu digit di bawah usia laki-laki, 19 tahun. Ini jawaban konkret atas upaya memerangi pernikahan anak.
Namun hal ini masih perlu didorong melalui komitmen lembaga legislatif agar segera mengubah batas usia perkawinan tersebut, mengingat hingga hari ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih belum disahkan. Selain itu, berbagai kasus pelecehan seksual terhadap perempuan masih terus terjadi.
Melihat pelbagai persoalan tersebut, hendaknya "suara" sebagai dasar kewarganegaraan (citizenship) dapat mendorong perubahan-perubahan yang ada sebagai wujud keterpenuhan hak warga negara. Tentunya komitmen ini harus serius dilakukan oleh calon anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden agar suara menjadi bagian dari aspirasi yang mampu diwujudkan melalui program-program taktis serta menempatkan kebutuhan perempuan dan anak sebagai prioritas utama.
Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada 2018, sebanyak 14 perempuan terpilih sebagai kepala daerah dan 17 sebagai wakil kepala daerah. Namun mereka bukan kader autentik partai politik. Mereka memiliki riwayat kekerabatan dengan pejabat sebelumnya, entah istri mantan kepala daerah, anak, atau keponakan, yang otomatis memiliki elektabilitas tinggi dan ketahanan finansial. Di sisi lain, dari 31 yang terpilih itu, hanya 11 calon yang penjabaran visi, misi, dan program pro-perempuannya (Perludem, 2018) terlihat konkret dan realistis.
Tidak banyak orang yang mengetahui janji-janji atau visi-misi para calon legislator ataupun calon presiden-wakil presiden dalam pemilihan umum tahun ini. Namun masa kampanye yang masih berlangsung hingga 13 April nanti adalah momentum untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan kebutuhan kebijakan bagi perempuan dan anak.
Di sini diperlukan keterlibatan lokus-lokus perempuan yang mampu bernegosiasi dan mengafirmasi kebutuhan perempuan. Hal ini salah satunya bisa dilakukan melalui peran organisasi kemasyarakatan perempuan lintas agama, seperti Nasyiatul Aisyiah, Aisyiah, Fatayat Nahdlatul Ulama, Muslimat, Wanita Katolik Republik Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Wanita Konghucu, untuk berperan mengawal janji saat kampanye.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf menjanjikan pemberdayaan perempuan dan membuka akses keterlibatan perempuan. Pasangan Prabowo-Sandiaga menjanjikan program Emas (emak dan anak minum susu) untuk mencegah meluasnya gangguan stunting growth. Khusus program pencegahan stunting, misalnya, Nasyiatul Aisyiah dan Fatayat NU seharusnya mampu memberikan masukan bahwa pemberian gizi seimbang melalui menu lauk-pauk lebih baik dibanding pemenuhan asupan melalui minum susu.
Semua pihak seharusnya terlibat untuk selalu mengedepankan kebutuhan perempuan dan anak sebagai wujud utama pembangunan. Di tangan merekalah proses kehidupan dasar bergumul menjadi serangkaian upaya baik bagi kepemimpinan masa depan. Jika tidak, selamanya suara perempuan hanya dijajakan sebagai "sumber kemewahan" pesta elektoral tanpa wujud substansi keterpenuhan hak yang berarti.