Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siklus keuangan negara sedang berlangsung. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mulai berlari menerima tongkat estafet dari APBN 2018. Sejumlah catatan layak digarisbawahi. Dalam APBN 2019, pemerintah memotong dana cadangan risiko fiskal menjadi Rp 8,36 triliun dari tahun lalu yang Rp 11,86 triliun. Penurunan sebesar Rp 3,5 triliun ini memang relatif “kecil”, tapi implikasinya tidak bisa dipandang kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan dana cadangan itu diklaim tidak sejalan dengan potensi risiko perekonomian 2019. Dari faktor eksternal, perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat tidak tertutup kemungkinan berkecamuk lagi sepanjang tahun ini. Dari ranah pasar finansial, gelagat terjadinya krisis di Amerika mulai terkuak dengan pembentukan kurva imbal hasil terbalik pada surat utang pemerintah Amerika tenor 10 dan 5 tahun.
Gelagat krisis yang lebih besar juga terlihat dari perlambatan ekonomi Negeri Abang Sam dan Negeri Panda. Karena merupakan mitra dagang terbesar, perlambatan ekonomi di kedua negara akan mempengaruhi Indonesia. Imbasnya, pelemahan pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah.
Tekanan internal diperkirakan datang dari kenaikan suku bunga di pasar finansial yang sangat boleh jadi lebih tinggi daripada patokan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara. Pembayaran bunga utang domestik dan cicilannya bisa lebih tinggi. Pemerintah juga masih menyimpan risiko terhadap utang PLN dan beberapa badan usaha milik negara lain yang berpotensi gagal bayar seiring dengan naiknya suku bunga acuan global dan pelemahan kurs rupiah.
Risiko fiskal muncul tatkala terjadi peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya, seperti tidak terpenuhinya asumsi dasar APBN atau faktor lain yang masih di dalam kontrol pemerintah. Penurunan dana cadangan risiko fiskal mengisyaratkan pemerintah percaya diri dengan asumsi APBN 2019 yang disepakati bersama DPR.
Keyakinan ini lebih jauh mengarah pada aspek efisiensi. Dana cadangan risiko fiskal harus tersedia dan siap digunakan setiap saat. Artinya, ada sejumlah dana menganggur yang tidak bisa diputar. Pengurangan dana cadangan fiskal adalah langkah efisiensi di saat pos-pos lain masih memerlukan tambahan dana.
Optimisme adalah isyarat lain yang bisa diamati dari penurunan dana cadangan risiko fiskal. Indikasi awalnya, target defisit keseluruhan turun dan defisit primer menyusut. Sementara target pertumbuhan penerimaan pajak cukup tinggi.
Salah satu faktor pembangkit optimisme pemerintah adalah harapan rezeki nomplok (windfall profit) atas kenaikan harga minyak. Jadi, potensi pelebaran belanja subsidi energi diharapkan bisa ditutupi dari kenaikan penerimaan minyak dan gas.
Walhasil, melesetnya asumsi APBN pada taraf tertentu masih bisa diprediksi dalam interval tertentu. Kementerian Keuangan niscaya punya angka baseline atas variabel ekonomi makro yang akan dihitung sensitivitasnya. Karena itu, langkah antisipasi yang ditempuh pun masih terukur dalam berbagai macam pengembangan skenario.
Namun, hal yang paling sulit adalah ketika risiko fiskal muncul tiba-tiba akibat peristiwa yang berada di luar kendali pemerintah, seperti bencana alam, krisis keuangan global, dan turbulensi ekonomi eksternal. Pemerintah bisa saja berdalih telah membentuk beberapa cadangan baru, seperti dana abadi bencana sebesar Rp 1 triliun, rehabilitasi dan rekonstruksi Rp 5 triliun, cadangan bencana alam Rp 10 triliun, dan cadangan jaminan kesehatan sosial Rp 9,49 triliun.
Persoalan yang muncul dari pergeseran ini adalah kemudahan dalam pemanfaatannya. Sulitnya mendayagunakan dana cadangan untuk menangani risiko lain yang bukan peruntukannya akan memberi rasa waswas yang lebih besar daripada ketika dana tersebut fleksibel.
Jadi, APBN 2019 seolah-olah berada di persimpangan jalan. Apakah APBN 2019 mampu menyelaraskan logika dengan optimisme? Logika adalah urusan nalar berbasis fakta, sedangkan optimisme berkaitan dengan spirit.
Posisi APBN semacam ini akan dikalkulasi sektor privat saat mengambil keputusan ekonominya. Jika penurunan dana cadangan risiko fiskal masih bisa ditoleransi oleh sektor swasta, sinyal optimisme pemerintah akan efektif sampai pada sasarannya.
Sebaliknya, bila hal itu dipandang tidak realistis, efek bumerang pun berlaku. Jika demikian halnya, bukankah ini juga risiko fiskal yang membutuhkan cadangan amunisi?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo