Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Perkara Gaib

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia JR

  • Redaktur Bahasa Majalah Tempo

    Di dusun suku Karen yang terpencil di lambung Gunung Inthanon, Chiang Mai, saya mencatat sejumlah kosakata salah satu dialek bahasa Karen serta mitologi mereka. Saya dibantu Pravit Vikorn-Auychai dari Inter-Mountain People Education and Culture in Thailand Association sebagai penerjemah dari Karen ke Thai, dan Chupinit Kesmanee dari Tribal Research Institute, Chiang Mai University, yang mengalihbahasakannya dari Thai ke Inggris.

    Dusun itu hanya dihuni lima keluarga, serpihan dari migrasi akibat gerusan roda politik dan ekonomi. Mereka percaya sebagai keturunan manusia pertama cikal-bakal klan yang turun dari langit—motif umum mitologi segala bangsa.

    Malamnya, menggigil di sekeliling api unggun, kami menyimak Thupo sang penyanyi Karen menembang hikayat suku bangsanya sambil memetik dawai-dawai tena, sejenis harpa. Ia mengisahkan leluhur yang turun ke pegunungan di utara yang jauh, lalu mengembara ke selatan, mencari tanah subur hingga Doi Inthanon.

    Cerita rakyat serupa itu selalu mengikat kita pada khayal tentang dunia atas dan dunia bawah yang tercitrakan secara harfiah. Entah di Cina, India, Jawa, bahkan Yunani, kita menikmati gambaran dunia dewata di angkasa raya berlatar awan. Sementara manusia mendongak ke langit kala meratap dan meminta, para dewa memandang ke bumi untuk meninjau dan menimbang.

    Di masa kecil, saya menangkap peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai perjalanan antargalaksi lantaran kiasan ”menembus langit ketujuh” untuk mencapai Sidratul Muntaha; dan karena Harold Lamb dalam Omar Khayyam menyebut bekas jejak kaki Muhammad pada ”batu kelabu” dalam Kubah Batu Masjid Al-Aqsa ketika ia naik ke langit. Hidup dalam imajinasi saya—sonder peduli skala dan perspektif—sang Nabi berdiri di gugusan asteroid saat berdialog dengan Musa, lalu keluar dari Bimasakti menuju Arasy.

    Entah karena pesona visual sedemikian rupa atau sebab lain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerapkan konsep ”atas-bawah” secara harfiah.

    Dalam KUBI 1985: ”rijalu’l-gaib: sb roh (aulia) yg tersembunyi di atas bumi (yg melindungi manusia di dunia ini).” Definisi di KBBI Edisi III 2005 sama persis. Sedangkan bumi, menurut KBBI, adalah ”planet tempat manusia hidup”. Dari deskripsi ini langsung terbayang sosok makhluk melayang-layang ”tersembunyi di atas bumi” entah di mana. Definisi itu memberi gambaran tentang alam gaib yang palsu, sebab bumi kita adalah alam benda, padahal kegaiban adalah konsep nonfisik.

    Keganjilan sudah terbaca sejak lema gaib. Menurut KBBI, gaib adalah ”tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata”. Dengan pengertian ini, jika Tuhan mahagaib, berarti Dia tidak nyata. Layakkah kita beriman kepada sesuatu yang tidak nyata alias khayali?

    Gaib adalah antonim zahir atau lahiriah, tapi bukan semata-mata tak kasatmata. Angin dan energi listrik tidak tampak, tapi tak bisa dibilang gaib sebab merupakan fenomena fisika. Para leksikograf perlu mempertajam akurasi pengertian-pengertian yang paralel sehingga tak sampai merumuskan gaib sebagai ”tidak nyata”—kecuali mereka menganut materialisme.

    Siddharta Gautama tak mencapai pencerahan setelah bertahun-tahun menyiksa raga melalui asketisme ekstrem. Hanya setelah memurnikan pikiran dan rohani tanpa memilin jasmani, pada momen munculnya bintang pagi, ia pun meraih apa yang disebut anuttara samyak samboddhi, ”tak terlampaui, kebangkitan yang sempurna”. Ini isyarat bahwa matra fisik dan matra gaib tak bisa dibaurkan secara membabi buta tanpa perhitungan dan ilmu. Tak sepatutnya ada konstatasi formal dalam kamus bahwa yang gaib ”tersembunyi di atas bumi”, karena ini berarti menggariskan matra gaib dengan perspektif alam fisik. Seolah-olah kita, penutur bahasa Indonesia kontemporer, adalah masyarakat mitis dalam bagan kebudayaan Van Peursen.

    Malaikat serta hamba-hamba Tuhan di alam kegaiban, ”di balik hijab”, termasuk rijalul-gaib, adalah makh-luk pada tingkatan luhur, ”mengatasi” alam jasmani, alam keterbatasan. Satu tafsir menyatakan, setelah durhaka, Adam dan Hawa diturunkan ke ”alam dunia”, bukan ke ”bumi”, sebab konteks latarnya bukan tempat, melainkan derajat dan martabat yang berkorelasi dengan kondisi. Sikap kita pun mendongak ke langit saat berdoa semata-mata merupakan bahasa tubuh untuk menyeru ”Yang di Atas”.

    Dalam Al-Quran Allah berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) pada malam kemuliaan” (Al-Qadr: 1). Menurut tafsir, Quran ”diturunkan” ke dalam dada Kanjeng Rasul dalam perwujudan ilmu. Penyair Taufiq Ismail menjadikannya karikatural dengan ungkapan ”Quran turun ke bumi” dalam syair lagu ”Lailatul Qadar” yang dinyanyikan Bimbo. Ekspresi verbal semacam ini membuat alam pikiran kanak-kanak takjub menatap langit dan membayangkan para malaikat sibuk berseliweran dan berpapasan dengan pesawat Enterprise dari film StarTrek.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus