Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Debat perihal utang negara sepertinya tidak pernah surut. Di satu sisi, beban pembayaran bunga utang pemerintah diklaim terus mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir. Di sisi lain, peningkatan beban bunga utang ini tidak sebanding dengan kemampuan pemerintah dalam membayar utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembayaran bunga utang negara rata-rata mengalami kenaikan 15,7 persen selama 2014-2019. Kenaikan ini juga terjadi secara relatif terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio ini pada 2014 sebesar 1,26 persen dan naik menjadi 1,7 persen pada 2019.
Selama periode yang sama, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan pemerintah juga naik, dari 8,6 persen menjadi 12,7 persen. Porsi belanja bunga utang negara mencapai 7,5 persen dari belanja. Pada 2018, bunga utang negara sudah menyedot 17,7 persen total belanja negara.
Tiga indikator ini dalam taraf tertentu memang bisa menunjukkan kegentingan tingkat kemampuan bayar utang pemerintah. Ketiganya sama-sama menelaah volume pembayaran bunga utang sebagai variabel utama meski dengan rujukan yang berbeda-PDB, penerimaan, dan belanja negara.
Penggunaan PDB sebagai rujukan tampaknya sedikit rancu. PDB dihitung dari keluaran aktivitas ekonomi sektor privat (konsumsi dan investasi), sektor publik, dan sektor luar negeri (ekspor dan impor). Maka, perhitungan ini memberi kesan sektor privat seolah-olah dipaksa ikut menanggung beban utang sektor publik.
Mengeluarkan sektor privat dan sektor luar negeri lebih cocok untuk mengukur kemampuan bayar utang negara. Sayangnya, cara ini pun tidak mengubah simpulan. Rasio antara pembayaran bunga utang dan PDB sektor publik pada 2014 sebesar 13 persen dan 19 persen pada 2019. Artinya, kemerosotan kemampuan bayar utang pemerintah terkonfirmasi.
Alternatif pendapatan dan belanja negara sebagai rujukan dalam mengukur tingkat kemampuan bayar utang pemerintah menawarkan analisis yang lebih adil. Pembayaran bunga utang dialokasikan dari penerimaan negara. Masalahnya, belanja APBN, termasuk pembayaran bunga utang, ditentukan lebih dulu daripada penerimaannya.
Selain itu, penerimaan negara berkorelasi kuat dengan harga komoditas. Pada 2014, rasio pendapatan negara terhadap PDB mencapai 14,7 persen. Pada 2018, rasio turun tipis menjadi 13,09 persen, meski ada perbaikan harga minyak bumi. Intinya, sifat fluktuatif yang melekat pada rasio pendapatan negara terhadap PDB tidak utuh merepresentasikan kemampuan bayar utang negara.
Telaah yang lebih spesifik atas penerimaan pajak agaknya tidak jauh berbeda. Rasio pajak dengan PDB, sebagai indikator kasar, masih rendah. Untuk tahun ini, misalnya, pemerintah menetapkan sasaran rasio pajak bisa menembus 12,2 persen. Kendati menanjak dari posisi 11,5 persen pada tahun lalu, rasio pajak Indonesia masih kalah dibanding negara tetangga di ASEAN.
Lebih ironisnya, upaya merealisasikan target rasio pajak pada kenyataannya masih mengandalkan kepada wajib pajak besar. Tahun ini, wajib pajak besar diberi "jatah" menyumbang
Rp 498 triliun. Jumlah tersebut ekuivalen dengan 31,57 persen dari pendapatan pajak dengan kenaikan 19 persen dari realisasi 2018.
Besarnya porsi kontribusi wajib pajak besar terhadap total penerimaan pajak sudah semestinya diwaspadai. Sadar atau tidak, kondisi keuangan negara memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap para wajib pajak besar dengan berbagai macam risiko yang dikandungnya.
Kalau kinerja sektor usaha (wajib pajak besar badan) sedang turun atau wajib pajak orang pribadi tengah mengalami masalah finansial, secara langsung atau tidak langsung akan berdampak ke penerimaan negara. Isu keberlangsungan penerimaan pemerintah dipertaruhkan di masa depan, mengingat pajak penghasilan (PPh) badan menyumbang 90 persen penerimaan PPh.
PPh badan berbasis pada laba usaha, yang didapat dari selisih antara pendapatan dan biaya. Pengusaha akan mendahulukan kewajiban membayar biaya dengan menanggung risiko penurunan laba. Maka, PPh orang pribadi lebih andal dalam merawat kesinambungan penerimaan negara.
Kerapuhan struktur penerimaan pajak untuk mengukur kemampuan bayar utang negara tecermin pula dari penerimaan PPh orang pribadi yang lebih kecil daripada pajak pertambahan nilai (PPN). PPh adalah pajak langsung. Pembayar pajak langsung sekaligus adalah penanggung beban finalnya.
PPN adalah pajak tidak langsung. Artinya, beban pajak tidak langsung bisa digeserkan kepada pihak lain. Lebih tingginya perolehan PPN relatif terhadap penerimaan PPh orang pribadi memicu ketimpangan distribusi beban akhir pajak (tax incidence).
Dari sini muncul "lingkaran setan": ketimpangan pendapatan menentukan besaran penerimaan perpajakan, sedangkan desain perpajakan ditujukan untuk memperbaiki distribusi pendapatan.
Dengan berbagai ironi di atas, penerimaan pajak agaknya belum bisa diandalkan sebagai tolok ukur kemampuan bayar utang negara. Padahal pajak adalah sumber utama penerimaan negara. Maka, kuantitas penerimaan pajak dan komposisi antara PPh badan, PPh orang pribadi, dan PPN menjadi tantangan bagi agenda reformasi perpajakan di masa mendatang.