Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Energi Terbarukan dan Teknologi Baterai

Sistem penyimpanan energi baterai diperlukan untuk menampung energi terbarukan dan menyalurkan daya yang stabil.

15 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perkembangan sumber energi terbarukan memerlukan jaringan listrik berkelanjutan.

  • Sistem penyimpanan energi baterai (BESS) dapat membentuk pasokan daya yang stabil.

  • Perlu regulasi yang mendukung pengembangan dan penerapan teknologi baterai.

Lucky Nurrahmat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Country Delivery Lead Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkembangan yang semakin pesat dari sumber energi terbarukan di Indonesia memerlukan jaringan listrik berkelanjutan, solusi penyimpanan energi, dan regulasi yang dapat mendukung keduanya. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menempatkan fokus tinggi pada energi terbarukan dan smart grid dengan 20,9 gigawatt atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit listrik yang akan dibangun hingga 2030, yang menggunakan energi terbarukan.

Saat ini tenaga air (PLTA) merupakan sumber energi terbarukan utama di Indonesia dengan kapasitas terpasang lebih dari 6.500 megawatt, diikuti bioenergi 3.086 megawatt, panas bumi 2.342 megawatt, tenaga surya 270 megawatt, dan angin 154 megawatt. Pada 2030, pemerintah menargetkan 35 persen mtoe dari campuran energi terbarukan. Pada 2035, dari total 52 persen mtoe campuran energi terbarukan, 12 persen mtoe akan berasal dari variable renewable energy (VRE), seperti angin dan surya.

Meskipun adopsi VRE merupakan perkembangan yang positif, ada hambatan intermitensi daya akibat sifat dinamis dari sumber energi tersebut. Salah satu solusinya adalah sistem penyimpanan energi baterai (BESS), yang dapat membentuk pasokan daya yang stabil dan konsisten.

Solusi BESS dapat menjaga keseimbangan dan mengatur sumber energi variabel, seperti tenaga surya dan tenaga angin, dengan menyimpan energi berlebih dan melepaskannya ke grid saat diperlukan. Solusi ini juga menyediakan berbagai layanan grid, seperti respons frekuensi, regulasi tegangan, dan spinning reserve, yang membantu menjaga stabilitas grid serta mengurangi risiko kegagalan jaringan dan potensi pemadaman listrik.

Dengan demikian, BESS memungkinkan proyek energi terbarukan berskala besar yang dapat mengurangi polusi udara lokal dan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian target mitigasi perubahan iklim Indonesia. Namun dalam implementasinya perlu dibuat kerangka kerja regulator untuk memastikan manfaat BESS sesuai dengan harga yang diberikan agar mampu menarik investasi dari sektor swasta.

Beberapa peta jalan elektrifikasi telah menekankan pengembangan BESS, seperti net zero roadmap IEA dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memproyeksikan sekitar 800 megawatt BESS pada 2030. Sementara itu, studi oleh IESR, Agora Energiewende, dan LUT University pada 2021 memperkirakan penyimpanan energi listrik dapat memasok 30 persen dari total listrik Indonesia (sekitar 877 terawatt-jam) pada 2050.

Beberapa tender VRE yang menggunakan BESS telah diberi penghargaan, termasuk satu proyek pembangkit tenaga bayu di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dan proyek-proyek lain yang masih dalam tahap pengembangan. PLN dan Indonesia Battery Corporation, badan usaha milik negara yang berfokus pada manufaktur baterai, menandatangani perjanjian kerja sama pada 2022 untuk mengembangkan proyek percobaan BESS sebesar 5 megawatt.

Namun penerapan BESS di Indonesia saat ini masih terbatas pada sistem off-grid berskala kecil, khususnya yang dirancang untuk proyek tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PLN di pulau-pulau kecil terpencil dan sistem perumahan di desa-desa yang belum teraliri listrik. Inisiatif ini diorganisasi oleh Kementerian ESDM. Contohnya, terdapat total ~5,3 megawatt-jam BESS tersebar di empat pulau, yaitu Sebira, Messah, Semau, dan Kojadoi.

Salah satu faktor penghambat adalah persepsi bahwa teknologi ini masih memiliki biaya yang tinggi sehingga beberapa pelaku di sektor energi enggan melakukan uji coba dan pilot project, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Sebagai contoh, dalam RUPTL 2021-2030 hanya terdapat beberapa proyek yang akan menerapkan BESS, seperti pembangkit listrik tenaga surya sebesar 943,2 megawatt yang direncanakan akan dikombinasikan dengan BESS di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua dengan tanggal operasi komersial pada periode 2022-2030.

Persepsi bahwa BESS merupakan teknologi yang mahal tidak sepenuhnya benar. Biaya teknologi ini mengalami penurunan sebesar 71 persen dari 2014 hingga 2020 dan diperkirakan turun 47 persen hingga 2030. Meskipun benar bahwa implementasi BESS masih membutuhkan biaya yang relatif lebih tinggi jika diukur per kilowatt-jam, terutama jika dibanding biaya listrik tenaga surya, banyak utilitas dan regulator yang telah menemukan alternatif untuk menciptakan nilai tambahan dari BESS, seperti menunda investasi transmisi atau bahkan investasi pembangkitan, sehingga menjadikan penerapan BESS sebagai pilihan yang ekonomis dan logis dari segi keuangan.

Pemahaman terbatas terhadap nilai BESS dan kurangnya contoh praktik terbaik untuk menggambarkan nilai tersebut merupakan alasan utama adopsi yang lambat di Indonesia. Karena itu, pengembangan lebih lanjut dari BESS akan memerlukan edukasi dan proyek pilot untuk memberikan kejelasan dan insentif kepada para investor.

Untuk memperdalam pemahaman mengenai peran BESS, Indonesia dapat mempelajari praktik-praktik terbaik dalam menerapkan BESS di negara-negara lain di Asia. Sebagai contoh, pemerintah India telah menyetujui skema viability gap funding (VGF) untuk industri BESS dengan tujuan mengembangkan proyek BESS senilai 4.000 megawatt-jam pada 2030-2031. Melalui skema VGF, pemerintah India berkomitmen memberikan dukungan keuangan yang signifikan hingga 40 persen dari biaya modal dengan alokasi awal sebesar 94 miliar rupee (US$ 1,129 miliar), termasuk dukungan anggaran senilai 37,6 miliar rupee (US$ 451,95 juta).

Sementara itu, Taiwan menjadi salah satu pasar penyimpanan energi yang paling aktif di Asia-Pasifik berkat adanya target yang jelas untuk energi terbarukan dan net zero emission yang dicanangkan pemerintahnya. Perusahaan milik negara, Taipower, berencana mengintegrasikan 1.000 megawatt BESS dalam wilayah layanannya hingga 2025.

BESS juga semakin menonjol di Korea Selatan, yang secara aktif mengupayakan pengembangan dan implementasinya untuk meningkatkan stabilitas grid, mengelola permintaan yang meningkat, dan mengintegrasikan sumber energi terbarukan ke dalam bauran energi negara. Pasar BESS di sana didorong oleh basis manufaktur yang kuat pada industri baterai dan kebijakan pemerintah yang mendukung ataupun insentif yang diberikan.

National Power Transmission Corporation (EVNNPT) di Vietnam tengah mengeksplorasi penggunaan BESS sebagai solusi untuk mengatasi intermitensi energi di sejumlah pembangkit listrik tenaga surya dan air yang terus berkembang. Di sana, GEAPP telah berkomitmen memberikan pembiayaan bersyarat, bantuan teknis, dan pengetahuan untuk menerapkan BESS pada pembangkit listrik tenaga terbarukan yang sudah ada.

Untuk mengakselerasi pengembangan BESS, pemerintah Indonesia, PLN, dan sektor swasta dapat memanfaatkan berbagai sumber daya internasional, seperti Energy Storage Partnership yang didirikan oleh ESMAP dan Bank Dunia, juga BESS Consortium yang didirikan oleh Global Leadership Council (GLC) GEAPP. Keduanya siap membantu pemerintah mempercepat implementasi dan meningkatkan penetrasi energi terbarukan.

Dengan semakin banyaknya proyek percobaan BESS yang berjalan di Indonesia, baik sektor publik maupun swasta akan mendapat manfaatnya. Hal ini diharapkan dapat mendorong terbentuknya pasar untuk skala komersial dan investasi dalam proyek-proyek yang lebih besar. Sebagaimana di Vietnam, pengembangan BESS di Indonesia membutuhkan dukungan kolektif dari semua pemangku kepentingan, dari pemerintah pusat dan daerah hingga lembaga legislatif dan sektor swasta, untuk membuka jalan bagi masa depan energi berkelanjutan.


*) Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan berbagai aktor di industri energi untuk mempercepat transisi energi berkeadilan (just energy transition) yang mendukung misi pengurangan karbon pada sistem energi sekaligus meningkatkan penghidupan masyarakat sebagai bagian dari transisi energi yang adil.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Lucky Nurrahmat

Lucky Nurrahmat

Country Delivery Lead Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus