Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perlindungan bagi Pembela Hak Asasi Manusia

Pada dinihari, 28 Januari lalu, rumah Murdani, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Barat, dibakar oleh orang yang tidak dikenal di Desa Gundul, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.

19 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi Muhammad Rezaldy
Staf Pembelaan Hak Asasi Manusia di Kontras

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada dinihari, 28 Januari lalu, rumah Murdani, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Barat, dibakar oleh orang yang tidak dikenal di Desa Gundul, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Murdani, istri, dan kedua anaknya selamat dari kejadian tersebut. Diduga kuat pembakaran rumah terjadi karena aktivitas Murdani yang selalu menolak kegiatan tambang pasir ilegal di Lombok Tengah sejak 2016.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pembakaran rumah Murdani merupakan tindakan percobaan pembunuhan berencana. Hal itu tampak dari empat temuan. Pertama, sepekan sebelum peristiwa, rumah Murdani kerap dilempari batu oleh orang yang tidak dikenal. Kedua, ada saksi yang melihat orang yang memakai masker mondar-mandir di depan rumah Murdani dengan bahasa tubuh yang mencurigakan.

Ketiga, terdapat bola lampu yang sengaja dicopot dan kamera pengawas (CCTV) yang sudah tidak aktif ditutup dengan topi milik anak pertama Murdani. Keempat, titik api berjumlah lima dan dua di antaranya berada di pintu utama dan pintu dapur.

Bila dilihat dari polanya, pembakaran tersebut sangat terencana dan dimaksudkan untuk membunuh Murdani dan keluarga. Hal itu diperkuat dari adanya titik api yang berada di pintu utama dan pintu dapur supaya penghuni rumah tidak dapat menyelamatkan diri. Polisi juga menemukan kantong plastik beraroma bensin di sekitar rumah.

Peristiwa yang menimpa Murdani menambah panjang rangkaian ancaman dan teror terhadap pembela hak asasi manusia (HAM). Bukan hanya teror, pemidanaan yang terkesan dipaksakan pun kerap ditujukan kepada pembela HAM, seperti kasus Heri Budiawan alias Budi Pego. Budi dituduh membawa spanduk bergambar palu arit saat aksi protes terhadap perusahaan tambang emas di Tumpang Pitu, Jawa Timur. Budi kemudian divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan tuduhan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme Marxisme-Leninisme. Di tingkat kasasi, hukumannya diperberat menjadi 4 tahun penjara. Padahal, dalam proses peradilan, terdapat sejumlah kejanggalan, seperti tidak ada saksi yang melihat Budi membawa spanduk tersebut dan bukti spanduk yang konon berlogo mirip palu arit tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

Dalam pantauan Kontras selama 2018, terdapat 156 peristiwa penyerangan terhadap pembela HAM. Bila dikategorikan berdasarkan aktornya, tindakan itu paling banyak dilakukan oleh polisi (86 kasus), lalu pemerintah (46), swasta (26), organisasi masyarakat (14), dan TNI (11).

Berdasarkan bentuk tindakannya, yang paling banyak terjadi adalah pembubaran secara represif (59 kasus), penganiayaan (51), penangkapan secara sewenang-wenang (19), dan kriminalisasi (18). Apabila dikategorikan sesuai dengan kondisinya, para pembela HAM itu ditangkap (248 kasus), mengalami luka-luka (107), dan lainnya (87).

Salah satu aktor yang melakukan pelanggaran adalah pihak swasta. The Ruggie Principles, atau yang dikenal sebagai prinsip-prinsip bisnis dan HAM, menjelaskan bahwa negara wajib melindungi semua orang di dalam wilayahnya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan. Selain itu, perusahaan bertanggung jawab untuk menghormati HAM dan mencegah timbulnya pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atas kegiatan bisnisnya. Bila terjadi pelanggaran, negara menyediakan akses pemulihan yang efektif bagi korban, baik secara yudisial maupun non-yudisial.

Kenyataannya, negara belum berhasil memberikan perlindungan yang maksimal dan membuat mekanisme pemulihan yang efektif terhadap pembela HAM karena belum ada regulasi khusus yang mengaturnya.

Ada empat alasan utama mengapa pembela HAM harus dilindungi dan dibuatkan regulasinya. Pertama, kerentanan karena aktivitasnya yang kerap tidak sejalan dengan agenda penguasa (pemerintah dan pemilik modal) membuat dirinya rentan mengalami ancaman, teror, bahkan pemidanaan.

Kedua, mempercepat tindakan negara dalam pemulihan dan perlindungan. Ketiga, sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam menangani kasus yang berdimensi kepentingan publik. Keempat, pemerintah Indonesia, dalam konteks pergaulan internasional, menjadi lebih baik satu tingkat karena menjamin perlindungan terhadap pembela HAM.

Sebetulnya, kita sudah memiliki Rancangan Undang-Undang Perlindungan terhadap Pembela HAM yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, karena tak kunjung dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, materinya akhirnya dimasukkan ke rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, pada Oktober 2018, lagi-lagi rancangan perubahan Undang-Undang HAM itu juga tak masuk prolegnas prioritas.

Jika hal ini tak juga dibahas dan ditunda berlarut-larut, para pembela HAM berpotensi kembali mengalami ancaman, teror, dan pemidanaan atas sikapnya yang kritis. Bila mereka tak dilindungi, siapakah pihak yang paling diuntungkan dari kondisi tersebut?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus