Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah semestinya tidak membebaskan penyelenggara sistem elektronik menempatkan pusat data mereka di luar negeri. Tak hanya berseberangan dengan tren banyak negara dalam mengoptimalkan peluang investasi di era ekonomi digital, rencana tersebut juga berpotensi menimbulkan persoalan keamanan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelonggaran regulasi penempatan data center menjadi salah satu agenda dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pasal 17 beleid tersebut semula mewajibkan penyelenggara sistem elektronik menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalih Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang menyebutkan perubahan aturan penempatan pusat data bertujuan mendukung pengembangan perusahaan rintisan teknologi digital (start-up) layak diragukan. Klaim bahwa kewajiban penempatan data center di dalam negeri menyulitkan tumbuhnya perusahaan start-up tidak sesuai dengan data.
Riset Google dan AT Kearney mencatat nilai investasi start-up di Indonesia telah mencapai US$ 3 miliar hanya dalam delapan bulan pertama 2017, naik tujuh kali lipat dibanding pada 2012. Portal analisis dan layanan pengembangan perusahaan rintisan global, Start-up Ranking, juga mendata 1.926 perusahaan rintisan telah didirikan di negeri ini, terbanyak ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Empat start-up di antaranya, yaitu Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak, bahkan telah mendapat predikat unicorn alias mempunyai valuasi di atas US$ 1 miliar.
Pertumbuhan start-up dan aturan kewajiban penempatan pusat data di dalam negeri nyatanya telah mendorong investasi baru pada sektor penyediaan data center. Delapan perusahaan anggota Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia-beberapa di antaranya telah bersertifikat Tier-IV atau predikat kemampuan layanan tertinggi-telah menggelontorkan investasi senilai US$ 400 juta. Potensi penanaman modal dalam industri ini diproyeksikan mencapai US$ 850 juta dalam dua tahun ke depan. Lembaga konsultan global JLL Consulting menempatkan Indonesia sebagai pasar pusat data paling prospektif di belakang Cina dan India.
Mencabut mandatori penempatan pusat data di dalam negeri justru berpotensi mengubur peluang tersebut. Lebih dari itu, pemenuhan terhadap jaminan perlindungan ketersediaan, keutuhan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bakal lebih sulit diawasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika memang menyatakan tetap akan mewajibkan penempatan data yang bersifat strategis, seperti pertahanan dan intelijen, di pusat data dalam negeri. Persoalannya, teknologi digital bergerak lebih cepat. Definisi strategis tak bisa lagi dibatasi pada data yang berhubungan dengan pemerintahan. Pada era ini, data pelaku ekonomi-kita semua-merupakan komoditas utama sehingga harus dijamin keamanannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo