Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JONO, eks Kepala Dinas Pertambangan dan Energi di Kalimantan Timur, semestinya mendapatkan perlindungan hukum. Ia telah berani melaporkan praktik penambangan ilegal di wilayahnya. Kenyataannya, ia kini dihukum penjara dan denda ratusan miliar rupiah karena laporannya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penegak hukum justru mengabaikan prinsip hukum untuk melindungi peniup peluit sebuah kejahatan. Penyidik kepolisian hingga hakim agung di Mahkamah Agung mengesampingkan imunitas pelapor seperti diatur Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 10 undang-undang tersebut menyatakan saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan atau kesaksian yang akan, sedang, dan/atau telah diberikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Jono melaporkan dugaan penambangan batu bara ilegal PT Pasir Prima Coal Indonesia di Kabupaten Penajam Paser Utara semestinya mendapatkan apresiasi. Ia melaporkan perusahaan milik Hengky Wijaya Oey itu karena menambang di area hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan, tidak membayar royalti dan iuran rutin, serta tak menguruk lubang tambang. Berbeda dengan Jono, selama ini kebanyakan orang dalam pemerintahan menutup rapat penyimpangan di wilayahnya. Mereka tak punya nyali atau terguyur uang suap.
Sejak awal, Kepolisian Daerah Kalimantan Timur terkesan tak serius menindaklanjuti laporan Jono. Sampai saat ini, nasib laporan itu tidak jelas kendati Jono kerap bolak-balik mengeceknya. Upaya Jono meminta Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI mengawal laporannya juga sia-sia belaka.
Polisi begitu sigap justru ketika Pasir Prima Coal balik melaporkan Jono dengan tuduhan pemalsuan izin tambang perusahaan lain, PT Mandiri Sejahtera Energindo. Perusahaan ini menggantikan Pasir Prima Coal yang dicabut izinnya karena diduga melakukan penambangan liar dan tak membayar royalti.
Tak sampai dua bulan setelah laporan itu, polisi menetapkan Jono sebagai tersangka. Penetapan tersangka ini terkesan serampangan karena hanya bersandar pada keterangan anak buah Jono. Dengan kesaksian sepihak tersebut, Pengadilan Negeri Tanah Grogot seharusnya membebaskan Jono, bukan malah menghukumnya tujuh bulan penjara.
Tidak lama setelah putusan itu, polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan untuk perkara atasan Jono, Bupati Penajam Paser Utara Andi Harahap, atas laporan yang sama dari Pasir Prima Coal. Padahal di persidangan terbukti setiap tindakan dan kebijakan Jono dalam penerbitan izin tambang atas perintah bupati. Dalam hal ini, polisi mengabaikan asas kesetaraan yang sama di depan hukum.
Tak hanya harus menjalani pidana kurungan, pria 57 tahun yang bakal pensiun sebagai pegawai negeri sipil pada Januari 2019 itu juga mesti membayar ganti rugi Rp 200 miliar atas gugatan perdata Pasir Prima Coal seperti diputuskan majelis kasasi Mahkamah Agung. Majelis pimpinan Soltoni Mohdally ini mengabaikan putusan peninjauan kembali perkara tata usaha negara yang menyatakan pemberian izin tambang kepada Pasir Prima Coal bermasalah.
Sebagai gerbang terakhir keadilan, Mahkamah Agung selayaknya mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jono agar bebas dari tuduhan pemalsuan izin tambang PT Mandiri Sejahtera Energindo. Selain karena statusnya sebagai pelapor yang mesti dilindungi, putusan peninjauan kembali Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan izin tambang Mandiri Sejahtera asli dan sesuai dengan undang-undang.
Jono perlu dilindungi agar tidak ada ketakutan pada mereka yang hendak melaporkan suatu kejahatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo