Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun silam ada sinetron yang amat populer: Pernikahan Dini. Namun kasus ini sama sekali tak ada kaitannya dengan sinetron yang nama tokohnya memang Dini itu. ”Pernikahan dini gaya Pujiono” ini memang pernikahan antara seorang pemilik pondok pesantren, Pujiono Cahyo Widianto, 42 tahun, dan anak gadis yang usianya sangat dini, Lutfiana Ulfa, 12 tahun.
Kasus ini layak jadi inspirasi untuk sebuah sinetron baru. Tingkat kehebohannya tergolong tinggi. Penentangan bukan saja datang dari tokoh agama dan komisi yang mengurusi masalah perlindungan anak, melainkan juga anak-anak seusia Ulfa. Di Surabaya dan Tasikmalaya mereka berbaris melakukan protes. Lagi pula, cerita prapernikahan itu—meski hanya disebut kawin siri—punya keunikan yang lumayan.
Pujiono, yang akrab dipanggil Syekh Puji, adalah orang kaya raya yang ”kebetulan” suka kawin-cerai. Nah, suatu ketika, pengusaha yang royal bagi-bagi uang ini mengadakan ”sayembara” untuk mencari seorang istri baru dengan syarat: usia muda belia. Muncullah Lutfiana Ulfa, murid Sekolah Menengah Pertama di Bawen, Jawa Tengah. Anak lugu, polos, cantik, dan berprestasi ini ternyata juga seorang anak yang penurut ketika orang tuanya setuju menyerahkan dirinya. Ulfa lalu mengantongi surat pindah sekolah dengan tujuan ke pesantren tersebut.
Entah apa perasaan gadis cilik berjilbab itu ketika menyadari dengan sesungguh-sungguhnya bahwa ia ”harus” menjadi istri baru Pujiono. Foto ”pernikahan dini” itu terpampang di media massa dan menyulut kemarahan banyak orang. Mereka yang tak tahu kasusnya, atau hanya melihat foto itu, bisa jadi mengira seorang bapak yang saleh sedang duduk berdampingan dengan anak gadisnya—yang juga sangat salehah.
Puji semula ngotot mempertahankan ”pernikahan dini” itu dengan dalih ajaran agama membenarkannya. Tapi syekh dari Bedono, Kabupaten Semarang, ini agaknya hanya mencari-cari pembenaran. Hukum positif Indonesia telah dilabraknya. Berbagai undang-undang dilanggar oleh lelaki ini. Undang-Undang tentang Perkawinan, contohnya, tak membolehkan perempuan di bawah 16 tahun menikah. Ada lagi Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dan ada pasal tentang pencabulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kengototan Pujiono luntur ketika Ketua Komisi Nasional untuk Anak-anak, Kak Seto, turun ke Semarang dan ”memaksa” Puji menceraikan istrinya. ”Pernikahan dini” itu pun bubar.
Ke mana ending ”sinetron” ini diarahkan? Puji agaknya akan terjerat kasus hukum. Buktinya, ia sudah dipanggil kepolisian. Itu bagus untuk pembelajaran, supaya tak ada yang meniru. Yang harus serius ditangani adalah Ulfa yang lugu. Ia perlu bantuan agar bisa bersekolah lagi tanpa beban. Sekolah asalnya di Bawen siap menerimanya kembali. Ini merupakan kabar baik. Namun ia juga perlu ditolong untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Ini bukan perkara mudah. Kalau saja ini sinetron sungguhan, gampang memberikan happy ending: ada orang kaya dermawan yang mengangkat Ulfa jadi anaknya dan disekolahkan dengan benar, lalu sukses dalam hidup—kelak, pada sinetron seri dua, judulnya: Ulfa, Pejuang dari Bawen.
Semestinya ada lembaga sosial, baik swasta maupun milik pemerintah, yang siap menjadi ”orang kaya dermawan” untuk membiayai sekolah Ulfa. Gadis yang lahir dari keluarga sederhana itu harus kembali siap menyongsong hari depannya. Bantuan itulah yang ditunggu-tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo