Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Perundingan langsung, berbahaya

Perundingan langsung plo-israel bisa saja ditempuh tetapi harus diletakkan dalam kerangka konperensi internasional. perundingan langsung tanpa dikaitkan dengan konperensi internasional, berbahaya bagi plo.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARIAN Akhbar al-Khalij, yang terbit di Bahrain, beberapa waktu yang lalu membuat kartun cukup tajam: Yasser Arafat mencongkel mata kirinya dan memberikannya pada Ronald Reagan, tetapi Reagan masih juga meminta mata kanan Arafat. Kartun itu menggambarkan betapa sulitnya memenuhi tuntutan Amerika agar mau berunding dengan PLO. Sejak 1975, Amerika mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi PLO, sebelum kedua belah pihak bisa memulai dialog, yaitu PLO harus bersedia menerima resolusi PBB 242 dan 338, harus mengakui eksistensi Israel, dan harus menolak terorisme. Tetapi sangat ironis Amerika tidak pernah mempersoalkan sikap Israel yang tidak menggubris dua resolusi PBB di atas, tidak sedikit pun berminat mengakui PLO, dan tidak pernah berhenti melancarkan teror berskala masif terhadap bangsa Palestina. Akhirnya, tiga syarat yang diajukan oleh Amerika itu secara tersirat dan tersurat dipenuhi PLO berkali-kali. Pertama, pada 15 November di Aljir. Lalu pada 7 Desember di Stockholm. Terakhir, pada 13 Desember di Jenewa, ketika Arafat berpidato di depan Sidang Umum PBB. Tetapi reaksi Washington selalu negatif. Pernyataan Arafat selalu dinilai kurang jelas, kurang jauh, tetap remang-remang, ambiguous. Masih di Jenewa, pada 14 Desember, Arafat mengadakan konperensi pers. Arafat menerangkan lagi posisi PLO untuk kesekian kalinya. Namun, beberapa jam kemudian, Ronald Reagan membuat kejutan akhir tahun. Reagan menganggap PLO sudah memenuhi tiga syarat Amerika dan memerintahkan George Shultz memulai dialog substantif dengan PLO. Shultz, sang menlu, yang tiga minggu sebelumnya memblokir visa Arafat untuk masuk ke New York, lantas meneruskan instruksi Reagan itu ke Robert Pelletreu Jr., duta besar Amerika di Tunisia. Dan dialog pertama pun berlangsung di pinggiran kota Tunis. Pemihakan buta Amerika pada Israel selama ini memang menimbulkan teka-teki bagi para pengamat. Ada yang mengatakan, pemihakan itu disebabkan kedua bangsa terikat oleh nilai-nilai kultural dan keagamaan berdasarkan etika Yahudi-Kristiani, atau Judeo-Christian ethics. Tetapi pendapat seperti ini sangat lemah dan menyesatkan karena toh bangsa Yahudi di daratan Eropa dikejar dan dimusuhi sejak abad ke-18. Bangsa-bangsa Eropa Kristen bukannya tidak tahu tentang etika Yahudi-Kristiani tersebut. Ada lagi yang berpendapat, pembelaan Amerika pada Israel disebabkan oleh sistem politik pluralistik Amerika sendiri, yang memungkinkan lobi Israel menjadi sangat kuat. Lobi Israel ini bahkan cenderung mendiktekan keputusan-keputusan Washington di Timur Tengah. Pendapat ini barangkali lebih realistis. Ada pula yang berpendirian bahwa, sebagai negara kapitalis, Amerika masih tetap mengidap sisa-sisa penyakit imperialis. Akibatnya, politik Amerika secara intrinsik memusuhi pihak Arab dan menjagokan Israel sebagai ujung tombak imperialisme Amerika di Timur Tengah. Tentu masih banyak lagi analisa yang dapat dibuat, tetapi jelas keputusan Reagan membuka dialog dengan PLO merupakan langkah maju. Sekalipun demikian, PLO belum boleh tersenyum terlalu pagi. Posisi yang diambil oleh pihak-pihak yang terlibat dalam masalah Israel (bukan masalah Palestina) masih sangat berjauhan. Bagi PLO Negara Palestina Merdeka di Gaza dan Tepi Barat adalah harga mati. Bagi Arafat dan teman-temannya, tiga konsesi yang telah diberikan pada Amerika dapat saja dicabut lagi bila ternyata tidak ada tanggapan positif dari Israel dan Amerika. Tokoh-tokoh PLO sudah menegaskan bahwa serangan-serangan terhadap sasaran militer di Israel dan daerah pendudukan akan tetap diteruskan. Sementara itu, kartu andalan PLO tinggal intifadah dan dukungan moril Internasional. Di pihak lain, Pemerintah Israel yang baru nanti sangat mungkin terombang-ambing antara dua kutub, yakni kutub maksimalis yang diwakili Yitzhak Shamir (kelompok Likud) dan kutub akomodasionis yang diwakili Partai Buruh. Kutub pertama menolak perdamaian dan tetap ingin mengangkangi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Kutub kedua mau memberikan konsesi, tetapi tidak cukup sama sekali untuk memenuhi cita-cita PLO. Dalam pikiran Partai Buruh selama ini, Jalur Gaza dan Tepi Barat paling banter dapat menjadi enclave Palestina yang punya hak otonomi administratif. Tetapi soal-soal keamanan tetap di tangan Israel. Ini berarti bangsa Palestina di kedua wilayah itu tetap terkurung dan tidak pernah punya kedaulatan. Sedangkan posisi Amerika sudah diisyaratkan oleh George Bush yang mengatakan bahwa Amerika tidak akan pernah mentoleransi didirikannya Negara Palestina Merdeka. Bila ini bukan sekadar retorika, Israel bisa ketawa lebar. Ini berarti bahwa keputusan Reagan untuk berdialog dengan PLO hanyalah suatu diplomatic flip-flop, plin-plan diplomatik yang tidak mengubah sikap dasar Amerika selama ini. Dalam pada itu, pemecahan masalah Israel tanpa keikutsertaan Syria sangat berbahaya. Posisi Syria tidak dapat ditawar: Dataran Tinggi Golan harus kembali masuk ke wilayah Syria. Sejak 1973, Syria berusaha mencapai paritas strategis dengan Israel. Utang Syria yang berjumlah sekitar 15 milyar dolar pada Uni Soviet adalah untuk melengkapi persenjataan agar mencapai paritas strategis itu. Secara demikian usul PLO dan Sidang Umum PBB supaya diselenggarakan konperensi internasional sangat tepat. Konperensi internasional akan melibatkan Israel, PLO, Syria, dan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk Amerika dan Uni Soviet. Perlu diingat juga, proses perdamaian Timur Tengah tanpa Soviet tidak akan dapat mencapai hasil yang mantap. Tetapi Amerika tampaknya menolak konperensi internasional dan ingin melihat perundingan langsung PLO-Israel. Sikap Amerika ini mengandung jebakan untuk PLO. Dalam perundingan langsung, Israel berada di atas angin. PLO bisa jadi bulan-bulanan karena berada dalam posisi yang sangat lemah. Dalam perundingan langsung, PLO harus "mengemis" konsesi dari Israel. Berdasarkan bukti-bukti hubungan Amerika-Israel sejauh ini, sulit dibayangkan akan ada perbedaan pokok antara keduanya dalam pemecahan masalah Israel. Ketegangan Washington-Tel-Aviv selalu bersifat sementara, untuk kemudian pulih kembali. Oleh karena itu, Arafat masih harus terus melancarkan ofensif diplomatik agar masalah Israel dapat digiring ke meja perundingan dalam suatu konperensi internasional. Perundingan langsung PLO-Israel bisa saja ditempuh, tetapi harus diletakkan dalam kerangka konperensi internasional. Perundingan langsung tanpa dikaitkan dengan konperensi internasional sungguh berbahaya bagi PLO. Sudah tentu sebagai cerminan hati nurani Palestina, Arafat sangat menyadari hal ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus