Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pilkada yang Inkonstitusional

Penyelenggaraan pilkada 2024 bermasalah karena inkonstitusional. Akibat pemerintah dan DPR mengabaikan putusan MK.

10 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah gagal memenuhi perintah Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.

  • Pemerintah dan DPR menyiasati perintah putusan MK tidak dilakukan dengan membentuk norma pokok undang-undang.

  • Akibat adanya sengkarut yurisdiksi pengadilan, penyelenggaraan pilkada tidak berkepastian hukum.

PENETAPAN pasangan calon kepala daerah telah selesai dilakukan. Pemilihan kepala daerah serentak atau pilkada serentak 2024 mulai memasuki tahap kontestasi, yaitu pengundian nomor pasangan calon, kampanye, penetapan perolehan suara, dan penetapan pemenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ironisnya, semua tahapan penyelenggaraan pilkada 2024 diselenggarakan secara inkonstitusional atau bertentangan dengan kehendak konstitusi. Hal ini terjadi karena pemerintah gagal memenuhi perintah Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam putusan tersebut, ada dua hal elementer, tapi penting: pertama, Komisi Pemilihan Umum tidak berwenang menyelenggarakan pilkada karena ajang ini bukanlah rezim pemilu. Dan kedua, MK tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hasil pilkada.

Meskipun MK telah menyatakan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah rezim pemilu, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 22E UUD 1945, pembentuk undang-undang tetap menyiasatinya dengan menugasi KPU sebagai penyelenggara pilkada.

Naifnya, cara pemerintah dan DPR menyiasati perintah putusan MK tidak dilakukan dengan membentuk norma pokok undang-undang, melainkan hanya berupa norma Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

Selain itu, putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 secara tegas menyatakan MK tidak berwenang mengadili sengketa hasil pilkada. Meskipun hal ini tidak berlaku serta-merta, seharusnya pemerintah dan DPR segera membentuk lembaga pengadilan khusus pilkada, bukan malah menelantarkan atau menafikan putusan MK sehingga terkesan tak valid.

Tindakan ini tidak saja merupakan pembangkangan terhadap konstitusi, tapi juga mempertontonkan sikap pemerintah yang tak berupaya sungguh-sungguh mewujudkan good governance dan clean government sebagai barometer pemerintahan yang baik serta modern.

Pengadilan Khusus Pilkada 

Salah satu isu krusial dalam penyelenggaraan pilkada adalah munculnya multi-yurisdiksi pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pilkada. Secara kelembagaan, dapat dikatakan ada lima lembaga peradilan atau kuasi peradilan yang berwenang memeriksa pelanggaran atau sengketa pilkada.

Kelima lembaga itu adalah, (1) Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu untuk pelanggaran administrasi; (2) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk urusan pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada; (3) pengadilan negeri untuk urusan pelanggaran pidana atau hak pemangku kepentingan pilkada; (4) Pengadilan Tata Usaha Negara untuk urusan penetapan dalam penyelenggaraan pilkada; dan (5) MK untuk urusan sengketa hasil pilkada.

Pengaturan yang rumit ini tidak hanya mempertontonkan kegagalan pemerintah dan pembentuk undang-undang menyelenggarakan pemerintahan secara profesional, tapi juga memperlihatkan betapa pemerintah serta DPR telah menyelenggarakan pemerintahan secara asal-asalan atau semaunya sendiri seraya mengangkangi hukum dan konstitusi.

Akibat adanya sengkarut yurisdiksi pengadilan, penyelenggaraan pilkada tidak berkepastian hukum. Padahal pemilihan kepala daerah merupakan salah satu pilar demokrasi. Selain itu, banyak muncul putusan pengadilan yang tak dapat dijalankan (non-executable) akibat prosesnya yang tidak tepat prosedur dan waktu. Implikasinya, citra penegakan hukum di Indonesia kian buruk.

Apabila membaca secara saksama substansi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sejatinya pembentuk undang-undang memang menghendaki adanya pengadilan khusus pilkada. Kekhususan pengadilan tersebut mencakup adanya hakim ad hoc sebagai barometer profesionalitas hakim yang mengadili, simplifikasi proses dan pemberkasan, serta akselerasi tahapan pemeriksaan. Kekhususan tersebut ditujukan agar putusan pengadilan pilkada berkepastian hukum dan bermanfaat bagi pencari keadilan.

Pemerintah dan DPR harus menghentikan praktik inkonstitusional dalam penyelenggaraan pilkada. Penyelenggaraan agenda sepenting ini harus benar dan baik menurut konstitusi. Dengan demikian, pilkada dapat dilaksanakan dengan baik dan berkualitas, serta bermanfaat bagi rakyat, kendati hal itu masih sekadar angan-angan ideal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus