Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pohon

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebagian bukit Pasir Tengah di atas Sarongge, hutan jadi monoton. Pohon-pohon kayu putih menguasai area. Batang mereka yang lurus menjulang bisa sampai 15 meter, berjajar rapi, ma­sing-masing dengan kulit yang seakan-akan jangat yang telanjang dan di sana-sini terkelupas.

Di bawahnya: hamparan rumpun daun wortel. Bumi dibudidayakan dengan telaten di sini. Dari pucuk bukit, sesekali terdengar deru beberapa sepeda motor tua yang datang untuk mengangkut hasil bumi itu, tak hendak terhambat oleh jalan mendaki yang buncah dan bongkah karena deras hujan. Tak lama lagi para pengendaranya akan turun, dengan mesin yang dimatikan, nekat tapi tangkas seperti pemain sirkus, ke arah tempat pengumpulan di bawah, melalui ladang cabai dan bawang-daun, melintasi tenda-tenda putih yang melindungi perkebun­an strawberry.

Ekonomi bergerak di kesepian ini. Para petani bekerja dan hidup. Tanah adalah nafkah. Pohon adalah bagian dari proses produksi manusia. Sebuah perusahaan negara telah mengubah bukit dan hutan tropis itu untuk perspektif tersebut.

Hanya beberapa hektare di sebelah sana, tampak lanskap yang berbeda: sisi bukit yang belum disentuh. Hutan masih penuh ragam dan masih gelap lebat. Batang-batang rasamala dan mahoni, suren dan puspa, tampak nongol dengan pelbagai derajat warna cokelat-abu-abu-hijau, bertaut dengan belukar yang tak tepermanai, mungkin di antaranya bermula pada zaman purba.

Seorang polisi hutan mengatakan, bahkan di bagian bukit itu masih hidup sekitar 60 ekor harimau. Di situ manusia belum berdaulat. Pohon-pohon masih punya hayat dan riwayatnya sendiri.

Dengan sekali pandang, kita memang akan menyaksikan dua sisi tanah tinggi dan kehidupan. Yang satu akan disebut secara resmi sebagai ”hutan industri”, yang sebenarnya adalah ”kebun”—sesuatu yang telah diolah, tempat di mana alam rapi dan jinak, atau, dalam kata-kata Penyair Hölderlin, ”di mana alam hidup dengan sabar dan mrumah” (häuslich). Yang lain, yang di sebelah sana: pohon-pohon yang seperti pokok eik yang disanjung sang penyair, mengorak tanpa dikelola dalam tahap dan jenjang pertumbuhan oleh manusia:

Dan engkau mendesak maju dengan gembira dan bebas, dari akar yang kukuh, saling berjalin, mencengkeram ruang, dengan lengan perkasa, seperti elang menangkap mangsa….

Kontras itu memang dibangun dari sebuah masa ketika sang penyair Jerman akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 itu, dalam hidupnya yang menyendiri, merindukan kemerdekaan (dikatakan ia melintasi masuk ke zaman Romantik) dan hanya dengan kebebasan ia tak hendak menampik kehidupan yang dibangun dari orang-orang yang asyik beramai-ramai, kehidupan yang disebutnya sebagai das gesellige Leben.

Kita hidup di masa yang berbeda, di negeri yang berbeda, tapi tampaknya kita belum bisa melepaskan hasrat itu: tak hendak menyerah kepada persetujuan orang ba­nyak yang hanya tunduk kepada pasar, seperti disentuh Hölderlin dalam sajaknya Menschenbeifall, (”Persetujuan Orang-orang”). Pasar dan demokrasi memang menjurus ke arah penciptaan ”kebun” ketimbang pohon-pohon yang, seperti pokok eik (Eichbäume) ”tegak, bagaikan kaum para titan”. Tapi haruskah hidup jadi seluruhnya sebuah hutan industri?

Hari itu saya, bersama sekitar 80 orang relawan, menanam tunas yang berbeda ke celah-celah pohon kayu putih—sebuah tindakan yang kami anggap memberikan sebuah alternatif. Tapi tunas yang berbeda itu bukanlah tunas yang ganjil, yang tak pantas di kawasan itu, bukan pohon-pohon yang ”eksotik”, kata petugas Departemen Kehutanan itu, melainkan yang ”endemik”. Para petani pada akhirnya tak hanya akan hidup dengan pohon-pohon yang produktif, tetapi sesuatu yang tidak produktif: sesuatu yang justru lebih dekat kepada hidup, meskipun bukan hidup ”manusia yang bekerja keras untuk hasil”, yang disebut dalam sajak Die Eichbäume.

Yang tanpa hasil, yang tak produktif berguna ketika jarak antara produksi dan destruksi begitu dekat, ketika hutan tropis yang menakjubkan itu kehilangan diversitasnya, ketika bumi yang tua itu tak lagi menyimpan cukup air.

Kini yang dulu disebut sebagai keindahan yang hijau bukan lagi masalah estetik. Ia jadi masalah ethik: bagaimana saya bersikap ke dunia, ke orang lain, dengan kehendak untuk tak menghancurkan. Pada gilirannya ia jadi masalah politik. Kehendak untuk menyelamatkan mau tak mau akan melibatkan orang lain, kekuasaan, dan juga harapan yang mungkin dan tak mungkin yang harus dijangkau bersama.

Pohon tegak, ”masing-masing bagaikan dewa, dalam sebuah aliansi merdeka”, kata Hölderlin. Manusia mungkin tak sebagai dewa ketika membentuk aliansi merdeka—sebab aliansi itu bukan hanya dengan yang hadir hari ini. Ketika saya menanam tiga tunas rasamala, saya diingatkan bahwa baru 30 tahun kemudian pohon itu akan setinggi lima meter. Saya tak akan melihatnya.

Saya tersentak sejenak. Mungkin jika ada yang berharga dalam laku saya, sebagaimana laku orang-orang lain hari itu di bukit Pasir Tengah itu, ialah mengingat bahwa kita tak melakukan itu buat diri kita sendiri yang besok lusa mungkin mati.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus