Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sulardi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang wilayahnya sangat luas serta mempunyai keanekaragaman masyarakat, budaya, sosial, dan agama. Sebagai suatu negara kesatuan, dalam pemencaran kekuasaan, terdapat dua kemungkinan, yakni sentralisasi dan desentralisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sentralisasi artinya kekuasaan dilaksanakan dan dimiliki oleh pemerintah pusat. Sementara itu, pada desentralisasi terdapat penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam sistem pemerintahan desentralisasi dimungkinkan terdapat perbedaan perlakuan atau daerah mempunyai hak khusus atau istimewa dibandingkan dengan daerah lain, yang disebut desentralisasi asimetris.
Di Indonesia, desentralisasi asimetris dimungkinkan secara konstitusional, seperti yang termuat dalam Pasal 18B ayat 1 UUD 1945: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan atau istimewa yang diatur dengan undang-undang." Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota, Papua, dan Daerah Istimewa Aceh. Kekhususan atau keistimewaan masing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan asal-usul daerah tersebut.
Tulisan ini diilhami oleh pemberitaan Koran Tempo edisi 19 Juli 2019 yang memuat topik kontroversi aturan poligami di Aceh. Tak pelak, rencana memberi kelonggaran bagi suami untuk menikah lagi yang termuat dalam rancangan qanun Aceh tersebut menarik untuk dikaji dalam perspektif hierarki perundang-undangan.
Aceh merupakan salah satu daerah istimewa. Keistimewaan itu ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan undang-undang ini, pemerintah Aceh memperoleh keleluasaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti dalam urusan ibadah, hukum pidana, hukum perdata, dan hukum keluarga.
Masalah poligami yang mendapat kelonggaran pada rancangan qanun pemerintah Aceh dapat dibahas dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di negara kita berlaku teori hierarki peraturan perundangan, yakni peraturan yang kedudukannya lebih tinggi mendasari atau menjadi dasar bagi peraturan yang kedudukannya lebih rendah. Maka, peraturan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di tingkat atasnya.
Kedudukan qanun setara dengan peraturan daerah provinsi, seperti yang termuat dalam Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: "Qanun Aceh merupakan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh."
Kedudukan qanun sejajar dengan peraturan daerah sehingga berada di bawah undang-undang. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan hierarki peraturan dari yang tertinggi hingga terendah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota.
Maka, materi qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, seperti undang-undang. Pada dasarnya, Undang-Undang Pemerintahan Aceh memberi peluang untuk pengajuan qanun yang bertentangan dengan aturan di atasnya lewat judicial review ke Mahkamah Agung.
Dengan demikian, norma poligami yang diatur dalam qanun dapat diuji dengan aturan tentang poligami pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas Undang-Undang Perkawinan adalah monogami, seperti termuat pada Pasal 3 ayat 1: "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Poligami hanya dapat terjadi apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (suami-istri) dan yang akan menjadi istri berikutnya." Itu pun setelah mendapat izin dari pengadilan.
Sebagai negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, regulasi yang diterbitkan oleh provinsi, baik yang berstatus otonom khusus maupun tidak, wajib tunduk pada peraturan yang lebih tinggi. Ambang batas aturan yang dibuat oleh pemerintah di tingkat provinsi adalah peraturan yang derajat kedudukannya lebih tinggi. Demikian halnya kekuasaan yang dimiliki oleh provinsi, pada dasarnya merupakan pemberian dari pemerintah pusat, dengan tetap memperhatikan keistimewaan asal-usul daerah.
Karena itu, rancangan qanun pemerintah Aceh yang memberikan kelonggaran untuk berpoligami itu berpotensi menimbulkan konflik secara regulasi ataupun sosial. Konflik regulasi terjadi karena asas yang dianut: qanun berasaskan poligami (karena memberi kelonggaran), sedangkan Undang-Undang Perkawinan berasaskan monogami.
Perbedaan asas ini akan menuai konflik sosial. Sebab, bagaimanapun, poligami merupakan masalah sensitif di masyarakat kita. Suatu saat bila qanun Aceh ini disahkan, terbuka kemungkinan untuk diajukan judicial review ke Mahkamah Agung.