Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGARA telah berkali-kali gagal melindungi kebebasan berekspresi. Aparat keamanan yang semestinya mengawal kebebasan berkumpul dan berpendapat justru takluk pada kelompok yang mempromosikan kekerasan. Dalam diskusi buku Allah, Liberty and Love karya feminis Kanada, Irshad Manji, di Salihara, Jakarta Selatan, dua pekan lalu, polisi bahkan turut membekuk hak dasar yang jelas-jelas dijamin oleh konstitusi. Ini pelanggaran hukum yang serius.
Tak ada dasar yang bisa membenarkan tindakan polisi itu. Dalih bahwa diskusi mesti dibubarkan untuk mencegah kerusuhan dan menjaga keamanan masyarakat sangatlah tak masuk akal. Polisi, yang mengutip Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara sebagai dasar tindakan mereka, jelas mengada-ada. Pasal itu justru menegaskan tugas pokok polisi, yaitu menegakkan hukum dan memberikan perlindungan serta mengayomi masyarakat.
Jika benar ingin menegakkan hukum dan melindungi masyarakat, polisi semestinya mengerahkan satuannya untuk menjaga ketertiban. Dengan gampang mereka bisa tahu siapa sesungguhnya yang mengganggu ketertiban: gerombolan yang memenuhi malam itu dengan teriakan dan acungan senjata atau kelompok yang sedang membahas sebuah buku dengan tertib dan beradab. Polisi jelas telah memiliki pengalaman menghadapi situasi yang bahkan jauh lebih pelik dari itu.
Sangat ironis, polisi justru memilih menyerah pada tekanan massa dari kelompok yang menyebut diri Front Pembela Islam itu. Kepala Polsek Pasar Minggu malah membubarkan diskusi, menolak mengajak kelompok demonstran beradu argumentasi untuk mengetahui isi buku yang sedang didiskusikan, dan mempercayai begitu saja tuduhan kelompok penyerang bahwa Irshad Manji, pembicara diskusi, sedang menyebarkan ajaran sesat homoseksualitas.
Di Yogyakarta, aparat keamanan bahkan terkesan membiarkan begitu saja kelompok lain menyerbu acara Irshad di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial. Ratusan orang yang mengenakan atribut Majelis Mujahidin Indonesia itu melemparkan batu, memukul, dan mementungi peserta diskusi. Ini tindakan kriminal yang tak bisa didiamkan. Penyelenggara diskusi harus mengadukan aksi sewenang-wenang itu.
Sulit dipahami tindakan pembubaran itu tak dibarengi dengan pemahaman lebih dulu terhadap materi diskusi. Kelompok yang mengatasnamakan agama itu berkukuh bahwa diskusi tersebut mengajarkan kesesatan dan homoseksualitas yang dilarang agama. Padahal Allah, Liberty and Love sama sekali tak membahas soal homoseksualitas. Buku ini menceritakan kerisauan perempuan muslim di seluruh dunia. Irshad memberi semangat pada kaum perempuan agar terus berkarya dan tak takut memperjuangkan haknya.
Ketidaksetujuan terhadap sebuah tema diskusi seharusnya dilawan dengan diskusi tandingan, bukan dengan cacian dan acungan parang. Sudah berkali-kali kelompok yang sama memaksakan kehendak dan membuat hak masyarakat lain tercerabut. Aparat keamanan pun kerap tak berdaya menghadapi aksi mereka.
Tak semestinya polisi keok terhadap organisasi kemasyarakatan yang melucuti demokrasi ini. Tindakan pembiaran, dan bahkan keberpihakan, penegak hukum pada kelompok yang menenggang kekerasan itu jelas sebuah kesalahan. Aksi pembubaran oleh polisi, seperti yang terjadi di Salihara, bisa dilaporkan ke Komisi Kepolisian Nasional. Lembaga yang bertanggung jawab kepada presiden ini memang memiliki wewenang mengevaluasi kinerja kepolisian berdasarkan keluhan masyarakat.
Komunitas Salihara dan peserta diskusi selayaknya mengadukan polisi yang mengabaikan tugas melindungi masyarakat kepada komisi ini. Kita tak ingin penegak hukum membiarkan kekerasan itu terus terjadi. Kita juga tak ingin masyarakat tak lagi percaya kepada polisi dan memilih mencari perlindungan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo