Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Politik

Politik itu kotor. Politik itu janji petai-hampa, senyum yang diperhitungkan, salam yang dicari efeknya, rangkulan yang tak ikhlas. Politik itu bujukan, tipuan, ancaman, juga suap.

15 Agustus 2018 | 07.00 WIB

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, mengecek persiapan ruangan pendaftaran capres-cawapres untuk Pemilu 2019, Sabtu, 4 Agustus 2018. Pendaftaran pasangan capres-cawapres dibuka 4-10 Agustus 2018. Tempo/Syafiul Hadi
Perbesar
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, mengecek persiapan ruangan pendaftaran capres-cawapres untuk Pemilu 2019, Sabtu, 4 Agustus 2018. Pendaftaran pasangan capres-cawapres dibuka 4-10 Agustus 2018. Tempo/Syafiul Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Politik itu kotor. Politik itu janji petai-hampa, senyum yang diperhitungkan, salam yang dicari efeknya, rangkulan yang tak ikhlas. Politik itu bujukan, tipuan, ancaman, juga suap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haruskah demikian?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hubungan politik dengan "yang baik", yang "ethis", tak henti-hentinya diperbincangkan dalam sejarah. Kadang-kadang dalam bentuk cerita fi’il raja-raja, seperti dalam tiga bab Bustanus Salatin, karya Nuruddin ar-Raniri di Aceh abad ke-17. Atau dalam bentuk pesan kepada para aristokrat muda, seperti dalam Wulangreh ("ajaran memerintah"), karya Pakubuwana IV di Surakarta abad ke-18. Kedua buku itu ingin menunjukkan, kekuasaan tak bisa dilepaskan dari perilaku yang secara sosial dianggap "baik".

Pada mulanya memang ada kebutuhan akan sebuah tata ketika manusia hidup bersama-sama. Pada mulanya keniscayaan politik.

Politik lahir dari proses menyusun distribusi posisi dan kekuasaan. Dalam sebuah ruang dan waktu, dua hal itu tersedia terbatas. Tak semua orang mendapatkannya, atau mendapatkannya dengan kepuasan yang tetap. Mau tak mau berkecamuk persaingan, desak-mendesak, konflik.

Sejarah mengajarkan proses itu penuh risiko: sebuah negeri bisa dirundung sengketa tak berkesudahan ketika benturan untuk posisi dan kekuasaan itu tak dikelola dengan baik. Dalam sejarah Jawa, peperangan tak henti-hentinya berkobar karena masalah suksesi. Akhirnya yang disebut kerajaan "Jawa" tinggal pecahan-pecahan yang tak bisa bangkit lagi.

Mungkin sebab itu Wulangreh tak henti-hentinya menganjurkan laku yang berhati-hati, sikap tak berlebihan, dengan ketaatan kepada aturan agama dan orang tua sebagai perekat. Dengan kata lain, sebuah ethika kecemasan. Kita bisa maklum akan hal itu jika kita baca riwayat kesewenang-wenangan (dan juga nasib buruk) para sultan dan raja-raja. Kita bisa paham mengapa ada kekhawatiran yang laten bahwa politik-sebagai proses distribusi posisi dan kekuasaan-mengandung sesuatu yang destruktif.

Terutama ketika politik berubah jadi apa yang oleh Ranciere disebut la police: kuasa yang akhirnya memberi batasan ke dalam hidup sosial, kepada ketentuan peran dan posisi warga, kepada penegakan tata. Jelas bahwa tata itu sebenarnya bukan sesuatu yang alamiah. Ia tak punya fondasi dan tak akan bisa memadai. Selalu ada celah yang kosong, ada unsur-unsur sosial yang tak masuk hitungan, terkucil, dan tak puas. Dalam keadaan itu, politik adalah "disensus", bukan "konsensus".

Ethika kecemasan ala Wulangreh menunjukkan sikap mendua. Di satu pihak, dibayangkan sebuah negeri yang berisi manusia-manusia yang lengah, bahkan durjana. Di lain pihak, justru karena itu, dibayangkan adanya kuasa yang adil: raja yang merupakan wakil Tuhan, ratu kinarya wakil Hyang Agung. Di bawahnya, "disensus" dianggap ancaman dan tak dianggap wajar. Politik sebagai proses harus dianggap sudah selesai.

Tapi politik tak kunjung selesai. Sebuah negeri-terutama di zaman ini-mustahil jadi sebuah madinah seperti yang dibayangkan Alfarabi di abad ke-9: kebersamaan yang "dipertalikan cinta kasih", "bergandengan dan bertahan melalui keadilan dan tindak keadilan".

Di sana Alfarabi agaknya jauh dari adegan konflik, oposisi, dan penindasan, yang mudah membawa yang keji dan kejam. Ia tak mengakui, hidup bersama, dengan politik, memang bisa sangat muram. Alfarabi tak mengemukakan bahwa sejarah sosial mengandung pelbagai macam kepahitan.

Kesadaran akan itu baru di awal abad modern ditegaskan Machiavelli. Il Principe yang termasyhur itu adalah ungkapan pesimisme tentang manusia.Makhluk ini, kata Machiavelli, "tak tahu berterima kasih, plinplan, pendusta dan penipu, takut bahaya, rakus akan laba".

Untuk itulah diperlukan seorang pemimpin, yang lebih baik ditakuti ketimbang dicintai. Cinta mudah putus, kata Machiavelli, karena sifat manusia yang gampang berubah, sementara takut akan hukuman "tak akan lepas dari kita". Raja bukan wakil Tuhan, melainkan sesuatu yang lebih gelap.

Politik, bagi pandangan ini, memang bukan kisah cinta. Kotor itu lumrah; kotor itu berguna. Segala macam cara bisa dan mesti dipakai untuk meredistribusi kekuasaan.

Tapi ada yang dilupakan Machiavelli: politik mengandung unsur waktu dan ada dalam waktu. Politik sebagai proses cenderung melihat ke masa depan, ke kemungkinan menang atau kalah. Tiap keadaan adalah transisi yang juga berubah. Sejarah politik adalah cerita dadu yang dilempar dan tak bisa berhenti sekali: tak ada satu wajah yang dipastikan akan muncul. Tak ada yang selalu.

Dadu itu bisa sedikit dikendalikan dengan kekuatan. Biasanya ada solidaritas dan konsensus di antara mereka yang ambil bagian dalam politik. Ada kebutuhan membangun rantai persatuan dan kesetaraan. Ada kebutuhan akan nilai-nilai yang diakui bersama, bahkan yang universal. Politik tak hanya berlangsung dengan tipu-menipu. Politik juga membangun kepercayaan-dan dalam arti tertentu Alfarabi benar: manusia bisa bergandengan dalam laku keadilan.

Goenawan Mohamad

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus