Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rocky Gerung*
KontraS adalah akronim dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Itu resminya. Tapi sebetulnya ada sugesti subversif pada huruf S di ujung akronim: Soeharto. Jadi harus dibaca: Kontra-Soeharto. Memang demikianlah konteksnya.
Di hari pertama Orde Baru menetapkan larangan demonstrasi pada 23 Februari 1998, sejumlah aktivis perempuan Jakarta justru melawannya dengan turun berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia membawa bendera Suara Ibu Peduli. Tuntutan mereka: "Turunkan Harga Susu". Dalam hari-hari rapat persiapan demo itu, yang dimaksud sebetulnya adalah "Turunkan Soeharto".
Asal-usul politik menjadi penting untuk membaca akronim. Tak harus diterangkan dengan teori semiotik mutakhir karena ingatan sejarah masih cukup tersisa. Yang hampir hilang justru peringatan tentang betapa subversi yang harus disembunyikan melalui akronim, demi menghindar dari kekuasaan otoriter, kini justru harus diminta dengan cara mengemis kepada kekuasaan hasil reformasi.
Setiap Kamis, di depan Istana Presiden, tuntutan pengadilan hak asasi manusia masih disuarakan oleh para korban. Sudah lebih dari 350 kali Aksi Kemisan itu digelar, tanpa kepedulian negara. Aksi "menolak lupa" itu tentu bukan aksi mengemis hak.
Sukarno mengeksploitasi akronim untuk tujuan politik menggerakkan massa. Melalui akronim, psikologi massa dikendalikan. Ada perintah di dalamnya. Misalnya Trikora (Tri Komando Rakyat) dan Kogam (Komando Ganyang Malaysia). Atau, dalam upaya memberi sugesti pada politik massa, Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) dan Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunis).
Pada era itu juga politik masuk tubuh kebudayaan. Manifesto Kebudayaan, yang berisi dalil "manusia merdeka", ditentang oleh lawan politiknya, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebagai paham antirevolusi rakyat. Dalam konfrontasi itu, Manifesto Kebudayaan dilecehkan dalam akronim Manikebu alias sperma kerbau.
Orde Baru memusuhi komunisme. Tak sekadar sebagai lawan politik setara, tapi juga sebagai ancaman ideologis yang berbahaya. Karena itu, ia harus dimusnahkan, dan pemusnahan itu harus monumental. Gerakan 30 September tidak hanya disingkat dalam sebuah rumus pengingat, G-30-S/PKI, tapi bahkan harus diingatkan dalam suatu akronim yang mengerikan: Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), yang membawa ingatan pada kekejaman Gestapo Nazi-Hitler.
Pelembagaan "bahaya laten" itu bahkan dimandatkan kepada institusi militer dengan akronim yang juga mengerikan: Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Tentu bukan tindakan meringkas itu yang diingat masyarakat, melainkan tindakan meringkus yang sewaktu-waktu dapat terjadi pada setiap orang yang dianggap membahayakan "keamanan dan ketertiban".
Peristiwa 15 Januari 1974, yang diawali dengan demonstrasi mahasiswa dan berakhir dengan kerusuhan besar di Jakarta, juga sengaja disebut Malapetaka Lima Belas Januari—disingkat Malari—didekatkan dengan nama penyakit berbahaya, malaria. Yang didakwa pelaku adalah aktivis mahasiswa dan sejumlah tokoh yang dianggap menjalankan garis ideologi Partai Sosialis Indonesia, kendati partai itu sudah dibubarkan Presiden Sukarno pada 1960.
Begitu juga peristiwa 27 Juli 1996, yang bermula dari upaya pengambilalihan kantor pusat PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri, lalu meluas menjadi kerusuhan kekerasan. Peristiwa ini diakronimkan sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Tujuh Juli)—akronim tendensius yang kemudian diarahkan kepada aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang dianggap prokomunisme.
Orde Baru memproduksi banyak akronim, dan sering dalam diksi patriarkis. Bahasa politik digunakan untuk menciptakan kontrol. Dengan mengeksploitasi psikologi massa, akronim menjadi peralatan efisiensi militer dalam mengamankan politik regimentasi. Di situ bekerja teknologi hegemoni, yaitu prinsip bahwa kekuasaan menjadi efektif karena menimbulkan kepatuhan.
Kita tak mengingat sekwilda dalam peleÂsetan paradigmatis "sekitar wilayah dada", tapi sebagai rezim yang menentukan wilayah pembagian proyek di daerah. Pada zaman Orde Baru, sekwilda adalah "orang kuat daerah", yang harus direstui pusat. "Pangkopkamtib", "gestapu", "nasakom", "malari", dan "kudatuli" tak mementingkan fungsi semantik, tapi lebih menekankan aspek psikologi, yaitu kengerian.
Setiap rezim ingin memberitahukan politiknya secara singkat. Hari ini kita mendengar lagi slogan politik pada pemerintah baru: "Trisakti", "Revolusi Mental", "Nawa Cita". Di situ ada kesan penemuan ulang azimat revolusi. Tapi, dalam zaman yang sudah berbeda, isi psikologisnya menjadi tak otentik.
Dalam politik akronim, kenyataan buruk dapat disembunyikan dalam ungkapan yang indah. Slogan "Tegar Beriman" (Tertib, Segar, Bersih, Indah, Nyaman), misalnya, kini justru menjadi spanduk pengotor kota yang malang-melintang di setiap persimpangan.
Bahasa adalah gudang ingatan. Ia menyimpan roman sekaligus kengerian zaman. Kekuasaan silih berganti. Roman datang dan pergi, tapi regimentasi adalah ciri tetap kekuasaan. Itulah sebabnya kita selalu risau bila kekuasaan sudah mulai diselenggarakan dengan slogan-slogan hiperbolik. Di situ bahasa bukan lagi menjadi alat argumentasi, melainkan alat regimentasi.
*) Pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo