Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRABOWO Subianto seharusnya becermin dulu sebelum meminta publik mewaspadai bahaya oligarki, setelah ia berkunjung ke kantor Partai Golkar pekan lalu. Jika benar Partai Gerindra bergabung ke pemerintah Joko Widodo-lawan Prabowo dalam pemilihan presiden lalu-justru dia dan elite partai yang kini berada di tampuk kekuasaanlah yang harus kita cemaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bergabungnya Gerindra, rezim Jokowi-Ma’ruf Amin akan memiliki dukungan mayoritas luar biasa di parlemen. Praktis tinggal Partai Keadilan Sejahtera yang berada di luar koalisi penguasa. Ini artinya, pertama kalinya sejak Orde Baru berakhir, kita akan memiliki pemerintah dengan kekuatan oposisi yang amat lemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kecenderungan yang berbahaya. Tanpa oposisi, tidak ada mekanisme checks and balances yang penting untuk memastikan kebijakan pemerintah dikontrol dengan ketat. Partai pendukung koalisi pemerintah akan sulit bersikap kritis.
Inilah yang dulu terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dewan Perwakilan Rakyat hanya berfungsi sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah. Fungsi-fungsi DPR, terutama fungsi pengawasan, sulit diharapkan berjalan optimal. Suara Istana dan Senayan yang seragam akan menjadi akhir dari demokrasi liberal di negeri ini.
Ironisnya, perkembangan mengkhawatirkan ini justru terjadi pada masa kepemimpinan Joko Widodo, presiden pertama yang berasal dari rakyat kebanyakan, di luar lingkaran elite yang selama ini mendominasi kursi-kursi kekuasaan di Jakarta. Dia seperti anak kandung demokrasi yang durhaka meninggalkan ibunya sendiri.
Presiden Jokowi keliru jika menilai konsolidasi partai-partai politik dalam satu barisan pendukung pemerintah bakal memperkuat lima tahun kedua masa pemerintahannya. Di atas kertas, itu bisa terjadi, tapi tengok saja periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, ia didukung enam partai politik yang menguasai hampir 70 persen suara di Senayan. Sejak tahun pertama, Yudhoyono sudah babak-belur dikeroyok soal penyelamatan Bank Century.
Kekeliruan Yudhoyono sama dengan Jokowi. Ia memberikan konsesi politik amat besar kepada partai pendukungnya dan mengakomodasi para politikus untuk menjadi menteri di kabinetnya. Hasilnya bukan stabilitas politik, melainkan kabinet yang lamban dan sulit dikendalikan. Para menteri dari partai politik cenderung masih loyal kepada pemimpin partai masing-masing.
Karena itu, ketimbang membagikan jatah menteri ke partai, Jokowi lebih baik mengisi kabinet dengan lebih banyak orang profesional-yang kompeten dan berintegritas, tentu saja. Tak perlu susah payah merangkul banyak partai yang bakal merepotkan dia sendiri.
Jokowi harus sadar bahwa demokrasi bukanlah semata-mata mekanisme untuk mencapai konsensus politik. Demokrasi memerlukan disensus-ketidaksepakatan-untuk memperbaiki diri terus-menerus. Dengan demikian, keberadaan oposisi merupakan cara untuk merawat demokrasi itu sendiri.
Kasak-kusuk sepekan terakhir tentang masuknya Partai Gerindra dan Partai Demokrat ke koalisi pro-pemerintah pasti membuat banyak pendukung Jokowi patah semangat. Dirangkulnya Prabowo ke dalam kabinet adalah sinyal negatif buat rakyat yang dulu memilih Jokowi karena tak setuju dengan tawaran gagasan Prabowo.
Terbentuknya pemerintahan tanpa oposisi juga menafikan seluruh perdebatan janji-janji kampanye selama pemilihan presiden lalu. Dua kubu yang sebelumnya menawarkan gagasan yang kerap bertolak belakang kini bekerja bersama dalam satu barisan. Aspirasi politik jutaan pemilih seolah-olah dibuang ke tong sampah.
Catatan:
Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 21-27 Oktober 2019