Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Politikus di Ujung Belati Korupsi

Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, atau yang biasa disapa Romy, menambah panjang daftar elite partai yang terjatuh dari tangga kekuasaan karena skandal rasuah.

21 Maret 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Umbu TW Pariangu
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy, atau yang biasa disapa Romy, menambah panjang daftar elite partai yang terjatuh dari tangga kekuasaan karena skandal rasuah. Ini menunjukkan bahwa elite partai sangat rentan dilamun kekuasaan korup. Padahal mereka bukan orang miskin. Mereka hidup dalam lingkaran harta yang menyilaukan mata rakyat kecil. Sebagai seorang ketua partai termuda saat ini, Romy, misalnya, memiliki harta cukup mencolok: Rp 11 miliar. Namun entah mengapa ia "terjerembap" hanya karena urusan "recehan" Rp 50-200 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keserakahan akan kekuasaan semakin memiliki daya terkam yang luar biasa terhadap kemakmuran rakyat ketika sistem dan kultur politik yang medioker dibiarkan menjadi landasan pacu bagi adrenalin praktik korup para politikus demi menjaga siklus korupsi di lingkungan (partai)-nya. Politik yang berorientasi kapital, yang memonetisasi tradisi berpartai dengan pola-pola patronase dan klientelisme politik, telah menjadi kelaziman sekaligus lahan subur rasuah di tubuh partai.

Ada semacam surplus kepercayaan yang menyesatkan di kalangan politikus bahwa korupsi politik bukanlah kejahatan luar biasa, melainkan kejahatan kalkulatif. Keuntungan yang diperoleh dari hasil korupsi jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan dan risiko yang akan dihadapi sehingga mereka beramai-ramai berjuang menjadi bagian dari siklus korupsi. Kalaupun pada akhirnya ada yang tertangkap KPK, jumlahnya hanya segelintir dibanding mereka yang mampu hidup dan eksis dalam kemewahan, hasil dari proses merayakan nafsu dan keserakahannya.

Politik telah menjadi lahan empuk korupsi yang mencengangkan. Menurut data KPK, pada awal 2019, 60 persen dari semua pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi politik, yang terdiri atas anggota parlemen (69 orang), anggota parlemen daerah (161), dan kepala daerah (107). Pada 2018, KPK menargetkan bisa mengungkap 100 kasus korupsi, tapi yang dapat dibongkar justru lebih dari 100 kasus. Bahkan, menurut Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, akan makin banyak kasus korupsi yang terjadi pada 2019. Hal tersebut didasari perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari APBN. Gambaran ini menunjukkan bahwa politikus kita sejatinya sedang berada di ujung belati korupsi, yang siap menenggelamkan seluruh karier dan kehormatannya sebagai makhluk sosial di dalam kepedihan cercaan dan sumpah serapah publik.

Sejatinya, kasus yang menjerat Romy dalam perspektif demokrasi tidak hanya "memukul" jajaran pengurus, konstituen, simpatisan, dan akar rumput PPP, tapi juga seluruh rakyat yang selama ini memberikan "saham" politik terhadap para elitenya, yang dalam pemilu berkomitmen akan memperjuangkan segenap kepentingan rakyat. Mereka diharapkan menjadi tumpuan penguatan visi politik yang berpihak pada prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Sialnya, idealisme itu dengan mudah dibancak oleh libido predatif. Spirit demokrasi (kapabilitas moral, integritas, rekam jejak, keadilan, dan kesejahteraan) begitu mudahnya tersungkur dalam lumpur kemaruk serta niat jahat elite-elitenya. Dengan demikian, meminjam teori korupsinya Vold (1980), politik tidak lagi bicara soal hitam-putih etika dan moralitas, melainkan lebih pada "siapa yang memenanginya" dengan berbagai kemungkinan penyimpangan, termasuk yang busuk sekalipun.

Jangan tanya lagi soal ideologi politik partai. Sebab, ia yang semestinya menjadi panduan berpolitik tak ubahnya baliho atau aksesori demokrasi semata karena partai kesulitan menciptakan idealisme dalam memperjuangkan ideologinya secara praksis-substansial. Akibatnya, publik makin skeptis apakah partai mampu menyelenggarakan demokrasi secara positif atau sebaliknya. Padahal, dalam ekosistem sosial yang progresif, partai pun bisa tumbuh kuat dan melembagakan dirinya (nilai dan cita-citanya) mengikuti proyeksi demokrasi dan peradaban. Karena itu, Dian Burlacu (2018: 1-22) mengatakan, di negara dengan korupsi yang rendah, rakyat (pemilih) memiliki kepercayaan diri yang besar untuk mendukung partai dalam mengimplementasikan program-program secara ideologis.

Maka, untuk membangun atribut kelembagaan partai yang bersih dan memiliki kontribusi nyata bagi kemajuan rakyat dan demokrasi, mau tidak mau dibutuhkan dukungan rakyat yang kritis dalam mengawal mobilitas para anggota partai. Namun itu tidak mungkin muncul di tengah ekosistem partai yang indolen dan parasitis, yang tidak pernah mau sungguh-sungguh membongkar seluruh sistem dan kultur yang menjadi akar penyalahgunaan kekuasaan.

Stigma yang diperoleh politikus atau partai politik akibat perilaku korupsi akan terus mendegradasi partai, sejauh tidak ada upaya kolektif untuk merehabilitasi nilai dan prinsip berpartai yang sehat. Misalnya, dengan menciptakan sistem pendanaan partai yang transparan dan akuntabel, termasuk memutus budaya mahar dalam kandidasi dan melembagakan seleksi kader partai yang meritokratis.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus