Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Politik Bansos

Pemerintah sudah pasti membantah. Penyaluran bansos jelas disebutkan tak berkaitan dengan pemilu, termasuk pilpres.

7 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polemik penggunaan bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik mencuat lagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ini polemik yang sepertinya berulang terus setiap lima tahun. Bukan pemberian bansosnya yang dipersoalkan. Program ini sudah disepakati dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menganggarkan Rp 496,8 triliun pada pos perlindungan sosial lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besar sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa masalahnya? Penyaluran itu dinilai tidak tepat menjelang beberapa hari sebelum pemilu. Bansos sering disalahgunakan dan didompleng untuk kepentingan peserta pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Lebih dahsyat dari “serangan fajar”—pemberian uang sebelum orang berangkat mencoblos. Harus diakui, meski sebagian masyarakat sudah cerdas “ambil uangnya, pilih sesuai hati”, toh masih banyak rakyat yang takut kalau ada kode-kode tertentu di kertas suara. Ini trauma pemilu pada era Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bansos lebih mudah didomplengi politik, terutama yang berkaitan dengan pemilihan presiden (pilpres). Tentu yang bisa memanfaatkan adalah koalisi pengusung calon presiden (capres) yang direstui pemerintah. Pada Pemilu 2024 ini, pasangan Prabowo-Gibran yang diuntungkan. Karena itu, yang meminta agar penyaluran bansos ditunda sampai selesai pemilu adalah pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Pemerintah sudah pasti membantah. Penyaluran bansos jelas disebutkan tak berkaitan dengan pemilu, termasuk pilpres. Bansos merupakan hak rakyat sebagai pelindungan sosial, apalagi saat harga kebutuhan pokok merangkak naik. Istana melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengutip ucapan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan pembagian bansos merupakan salah satu bentuk tindakan melawan inflasi. “Jadi enggak ada tendensi apa pun," kata Moeldoko. Lalu, lewat Koordinator Staf Khusus Presiden Ary Dwipayana, Istana membantah anggapan bahwa Jokowi memihak calon tertentu. 

Sebaliknya, rakyat disuguhi kenyataan lain. Menteri Perdagangan, yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, saat berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, menyebutkan bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) berasal dari Jokowi. Tidak berhenti di situ, menteri ini menyinggung bahwa Gibran Rakabuming Raka atau cawapres nomor urut dua merupakan anak Jokowi. Maka dia mengajak warga memilih Gibran, yang mendampingi capres Prabowo Subianto.

Apakah Istana layak disebut netral? Jokowi bisa menjadi juru kampanye Partai Solidaritas Indonesia yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Jokowi pun rajin blusukan ke berbagai daerah. Dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto jelas menyebutkan Jokowi memihak Prabowo. Semua terang benderang.

Namun perkara bansos yang terjadi sekarang ini merupakan masalah klasik. Jokowi hanya mencontoh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjelang Pemilu 2009, SBY menyalurkan Rp 3,6 triliun dana APBN untuk BLT bagi 18 juta lebih rumah tangga. Protes bermunculan, tapi semuanya bisa dibantah dengan “untuk kepentingan rakyat yang terbebani oleh kenaikan harga bahan bakar minyak”.

Politik bansos dan bagi-bagi uang, termasuk “serangan fajar” yang lebih sederhana, secara teori tentu menyalahi hukum. Namun praktiknya mudah dicarikan alasan sehingga proses hukum tak berjalan. Contoh kecil, bagaimana penceramah Gus Miftah membagi-bagikan uang saat kampanye pasangan Prabowo-Gibran di Pamekasan, Madura. Setelah video itu viral dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pamekasan mau mengusut kasusnya, ada pernyataan dari tim pasangan calon presiden nomor urut dua. Gus Miftah bukan bagian dari tim kampanye Prabowo-Gibran.

Ada lagi kasus Gibran yang membagi-bagikan susu saat car-free day di Jakarta. Bawaslu Jakarta Pusat sudah memanggil Gibran dan menyatakan cawapres ini bersalah. Lalu apa yang terjadi? Justru Bawaslu Jakarta Pusat yang dilaporkan dengan alasan Gibran tidak berkampanye saat itu.

Jadi sebenarnya kita belum pernah menyelenggarakan pemilu dengan jurdil—jujur dan adil. Apalagi ditambah penyelenggara yang netral. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus