Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari Bappenas, BPK, hingga KPK menemukan bantuan sosial tak tepat sasaran.
Anggaran bantuan sosial naik dari tahun ke tahun, tapi jumlah orang miskin juga naik dari waktu ke waktu.
Akibat desain bantuan sosial menjadi bancakan korupsi dan instrumen politik untuk keperluan elektoral.
MENEPUK air di dulang tepercik muka sendiri. Begitulah gambaran pemerintah kita hari-hari ini ketika para menteri saling kritik soal ketidakakuratan penyaluran bantuan sosial. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan sebanyak 46 persen penerima bansos bukan mereka yang berhak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa bahkan menyatakan ada pejabat eselon I kementeriannya terdaftar sebagai penerima bansos dalam tiga tahun terakhir. Meski Suharso tak menyebutkan namanya dan Kementerian Sosial sudah menyangkalnya, silang pendapat itu menunjukkan data bansos amburadul dari tahun ke tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak bantuan dalam program perlindungan sosial. Dari bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial pangan, program keluarga harapan (PKH), hingga bantuan pangan non-tunai (BPNT). Tahun ini anggaran seluruh bantuan sosial itu mencapai Rp 496 triliun, naik Rp 20 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Kenaikan dan anggaran besar itu bertepatan dengan Pemilihan Umum 2024 pada Februari lalu. Presiden Joko Widodo memanfaatkannya untuk memenangkan anaknya yang menjadi calon wakil presiden dengan membagikan aneka macam bantuan sosial itu pada awal tahun. Guyuran bansos pada masa kampanye itu membuat anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, membukukan suara 58 persen.
Maka silang pendapat antar-lembaga negara soal penyaluran bansos yang tak tepat sasaran seperti saling menampar muka di depan publik. Pemerintah dan para elite partai sendiri yang mendesain bansos tak tepat sasaran. Dengan desain seperti itu, tak mengherankan jika bantuan sosial berubah menjadi bantuan politik pada masa pemilihan umum. Dalam pemilu ke pemilu, para calon inkumben memanfaatkan bansos untuk menggaet pemilih.
Jadi, pemutakhiran data atau perubahan basis data penerima bantuan sosial tak ada gunanya sepanjang desain bantuan sosial untuk tujuan politik. Sebenarnya, bantuan sosial bagus sebagai bantalan masyarakat miskin tidak terpuruk akibat ekonomi yang memburuk atau tekanan kebijakan yang memicu inflasi. Namun, karena bansos telah menjadi alat politik, mereka yang benar-benar miskin acap tak mendapatkannya.
Bukan hanya penyelidikan Bappenas, audit Badan Pemeriksa Keuangan hingga Komisi Pemeriksaan Korupsi menyatakan data bansos selalu tak akurat dari tahun ke tahun. Bansos juga berpotensi merugikan keuangan negara akibat peluang korupsi. Dua Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah dan Juliari Batubara, masuk penjara gara-gara menyalahgunakan anggaran bansos.
Pengadaan bansos pun makin melenceng dari tujuan semula yang hendak mengentaskan kemiskinan. Dalam APBN 2023, pemerintah menyebutkan bantuan sosial hendak mengurangi 0,6 juta penduduk miskin dari 25,9 juta. Tahun ini, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, jumlah penduduk miskin seharusnya turun sebanyak 7,5 persen atau 6,5 juta jiwa. Faktanya, menurut data Badan Pusat Statistik dalam tiga tahun terakhir, jumlah orang miskin naik: semakin naik anggaran bantuan sosial, naik pula jumlah penduduk miskin.
Sebelum punya target yang muluk, sebelum saling bertengkar soal siapa yang salah dalam pendataan penerima bansos, pemerintah dan para politikus mesti sadar bahwa bantuan sosial bukan bantuan politik. Sepanjang bansos jadi instrumen politik, selamanya ia akan tak tepat sasaran, selamanya ia menjadi bancakan korupsi, selamanya tak akan bisa mengurangi jumlah orang miskin.