Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan persiapan yang minim, perhelatan Asian Games XVIII di Jakarta dan Palembang pada Agustus mendatang terancam compang-camping. Enam bulan sebelum hari-H, beberapa arena pertandingan belum beres, sementara fasilitas yang sudah jadi pun ternyata belum sepenuhnya memenuhi syarat. Ikhtiar ekstrakeras diperlukan agar ajang yang digadang-gadang sebagai momentum kebangkitan Indonesia di arena internasional ini tidak berantakan dan memalukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keruwetan itu sebenarnya bisa dihindari jika pemerintah tak begitu saja menyetujui permintaan Dewan Olimpiade Asia empat tahun lalu agar Indonesia menggantikan Vietnam menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Padahal dewan inilah yang sebelumnya menolak pencalonan Kota Surabaya sebagai penyelenggara Asian Games. Sebagai tuan rumah pengganti, kita kehilangan waktu persiapan sedikitnya dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah penunjukan resmi sebagai tuan rumah pun, persiapan tak langsung dikebut. Kementerian Pemuda dan Olahraga, Komite Olimpiade Indonesia, dan Komite Olahraga Nasional Indonesia malah berebut peran dalam penyelenggaraan Asian Games. Gontok-gontokan ini membuat kita kehilangan banyak waktu berharga. Korupsi yang dilakukan dua pejabat Komite Olimpiade Indonesia dalam tahap sosialisasi Asian Games pada 2016 turut andil membuat proses persiapan jadi tersendat-sendat. Apalagi ada kabar kerabat Menteri Pemuda dan Olahraga ikut terserempet kasus ini.
Mepetnya waktu persiapan kini terasa imbasnya. Pembangunan dan renovasi berbagai fasilitas utama dan penunjang pekan olahraga akbar empat tahunan ini kedodoran di sana-sini. Beberapa gelanggang baru akan rampung sebulan sebelum pembukaan. Semua arena kompetisi yang seharusnya sudah rapi setahun sebelum penyelenggaraan masih centang-perenang sampai pekan lalu. Ini sungguh mengkhawatirkan.
Belum lagi soal pendanaan. Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Asian Games yang menjadi payung untuk pencairan anggaran baru diteken pada April tahun lalu. Itu pun pemerintah hanya menyediakan Rp 4,5 triliun dan meminta panitia penyelenggara mencari tambahan Rp 1 triliun dari sponsor. Badan usaha milik negara dan perusahaan swasta nasional setengah ditodong untuk berpartisipasi. Pola-pola pencarian dukungan dana semacam ini tak sehat karena mengabaikan kalkulasi bisnis yang rasional.
Persiapan atlet-atlet nasional untuk berlaga di kampung halaman sendiri tak kalah meragukan. Dana untuk pemusatan latihan mereka dipangkas habis-habisan. Padahal pemerintah memasang target muluk meraih 16-20 medali emas dan masuk sepuluh besar. Dalam semua Asian Games sebelumnya kecuali saat menjadi tuan rumah pada 1962, prestasi rata-rata Indonesia tak lebih dari delapan medali emas.
Untuk menggenjot prestasi, pemerintah bersiasat dengan memasukkan cabang-cabang olahraga non-Olimpiade, seperti bridge, jet ski, paralayang, dan pencak silat. Dalam cabang-cabang olahraga tak terukur itu, penilaian juri menjadi faktor teramat penting. Masalahnya, kalau juri terlihat terlampau mengistimewakan atlet tuan rumah, kontingen kita bisa dicemooh peserta negara lain.
Ketimbang begitu, sebenarnya lebih elok jika Komite Olahraga Nasional Indonesia serta Kementerian Pemuda dan Olahraga berupaya habis-habisan mencetak atlet baru di cabang olahraga terukur yang dipertandingkan di Olimpiade. Investasi besar pada pelatihan atlet di cabang semacam itu tak akan percuma. Prestasi yang diraih dari peletakan dasar-dasar sistem pelatihan yang tepat bakal terasa bertahun-tahun dalam berbagai kompetisi sport kelas dunia.
Yang juga harus dipikirkan adalah dampak jangka panjang penyelenggaraan Asian Games. Penyelenggara Olimpiade di London, Inggris, pada 2012, dan di Rio de Janeiro, Brasil, pada 2016, sama-sama mengakui keuntungan finansial mereka tak sebesar harapan semula. Sejak sekarang, pemerintah harus mencari akal agar dana triliunan yang dikeluarkan seimbang dengan efek Asian Games pada pertumbuhan ekonomi kita.
Mempersiapkan arena pertandingan untuk 40 cabang olahraga, melayani sekitar 15 ribu atlet dari 45 negara, serta memastikan siaran langsung untuk sedikitnya 4 miliar pemirsa televisi memang bukan pekerjaan main-main. Dibutuhkan kerja ekstrakeras untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan kompetisi olahraga yang skalanya hanya kalah dari Olimpiade ini. Martabat bangsa dan negara dipertaruhkan di sini.
Justru karena itu dibutuhkan fokus dan disiplin pemerintah. Jangan coba-coba menumpangi penyelenggaraan Asian Games untuk motif pencitraan politik belaka. Kesuksesan Indonesia harus menjadi milik semua, bukan cuma mereka yang kebetulan sedang berkuasa.