Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian masih terus bergulir. Ada yang melihat dari sisi positifnya. Banyak masalah bangsa yang belum terakomodasi dengan baik karena tidak jelas siapa yang menangani. Atau masalah besar yang dihadapi bangsa tidak ditangani dengan sepenuhnya karena berjejalnya urusan dalam satu kementerian. Misalnya di bidang kebudayaan yang begitu beragam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sisi negatif juga berjibun. Bertambahnya jumlah kementerian berakibat tambahnya beban negara. Kementerian yang baru membutuhkan gedung, sarana, dan fasilitas, yang pasti besar. Untuk apa membuat kementerian yang hanya mengurusi perbatasan dan pulau terluar? Bukannya bisa ditangani kementerian yang lain? Untuk apa pula membentuk kementerian ketahanan pangan, bukankah ada Kementerian Pertanian, Badan Urusan Logistik, dan Badan Pangan Nasional?
Pro-kontra ini akhirnya berujung pada dugaan untuk mengakomodasi jatah partai politik pendukung Prabowo. Partai lawan Prabowo pada Pemilu 2024 mau ditarik ke pemerintahan yang baru dan itu harus dibayar dengan jatah menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah wacana yang riuh, ada pernyataan Mahfud Md., calon wakil presiden yang kalah. Mahfud yang pernah jadi menteri tidak setuju ada tambahan kementerian. Ia mengatakan hal ini hanya menjadi sumber korupsi baru. Oh, kementerian itu sarangnya koruptor?
Pernyataan Mahfud itu sulit dibantah. Dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada empat menteri yang dihukum karena korupsi. Mereka adalah Siti Fadillah (Menkes), Andi Mallarangeng (Menpora), Suryadharma Ali (Menteri Agama), serta Jero Wacik (Menteri Pariwisata dan Kebudayaan). Dalam dua periode pemerintahan Joko Widodo, menteri yang terjerat korupsi bertambah jadi enam. Mereka adalah Juliari Batubara (Mensos), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Imam Nahrawi (Menpora), Idrus Marham (Mensos), Johnny Gerard Plate (Menkominfo), serta yang kini sedang diadili Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian). Padahal, awal Jokowi berkuasa, tekadnya adalah memberantas korupsi lebih keras dibanding pendahulunya.
Kini, Prabowo pun serupa, mau mengganyang koruptor dengan tegas. Bagaimana Prabowo akan memerangi korupsi jika dia menambah jumlah kementerian yang disebut Mahfud adalah sumber korupsi? Tentu kita tak boleh berprasangka buruk, misalnya, dengan menyebut, “sama saja dengan Jokowi hanya sekadar janji”.
Memang sulit membantah sinyalemen Mahfud Md. yang menyebutkan kementerian jadi sumber korupsi. Hari-hari ini kita disuguhi bagaimana korupsi itu dilakukan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Sepenuh hidupnya diisi dengan langkah korupsi. Belanja istri, mobil untuk anaknya, perjalanan ke luar negeri, bahkan sampai sunatan sang cucu, semuanya hasil korupsi. Kementerian yang dipimpin Syahrul terkesan punya prestasi baik memperoleh status WTP (wajar tanpa pengecualian), penghargaan bergengsi yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ternyata piagam WTP itu keluar dengan menyuap auditor BPK sebesar Rp 5 miliar, dari janji awalnya Rp 12 miliar.
Apakah semua menteri melakukan hal ini, meski dalam skala yang berbeda? Mungkin jawabannya tidak. Tapi, bisakah kita percaya sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan Syahrul itu tidak dilakukan menteri lain? Termasuk status WTP yang diperjualbelikan BPK? Siapa tahu Syahrul apes saja dan “kurang cerdik” bermain bersama anak buahnya.
Sejatinya masyarakat mudah mencium hal-hal yang buruk dengan melihat cara kerja para menteri. Banyak ulah menteri yang tak perlu atas nama jabatannya. Misalnya, untuk apa para menteri—atau yang lebih tinggi dari menteri—ke daerah-daerah hanya untuk membagikan sertifikat tanah atau mengecek harga di pasar. Serahkan kepada bupati setempat atau justru lurah untuk membagikan sertifikat itu. Perjalanan itu berbiaya tinggi dan konotasinya adalah pemborosan. Di situ pula diduga ada unsur korupsinya.
Nah, bayangkan kalau cara kerja menteri masih seperti itu, kementerian bisa jadi sumber korupsi. Jumlah kementerian sebaiknya dikurangi, bukan malah ditambah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo