Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Predator Likuiditas Perbankan

Industri perbankan nasional mengarungi 2018 dengan penuh tantangan. Kendala dari sisi hulu adalah melambatnya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).

19 November 2018 | 07.00 WIB

Perbankan Cari Satelit Alternatif
Perbesar
Perbankan Cari Satelit Alternatif

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Industri perbankan nasional mengarungi 2018 dengan penuh tantangan. Kendala dari sisi hulu adalah melambatnya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Hingga Oktober 2018, DPK hanya tumbuh 6,6 persen secara tahunan. Dari sisi hilir, penyaluran kredit perbankan mampu tumbuh 12,96 persen selama periode yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketidakseimbangan antara aliran DPK dan distribusi kredit memantik loan to deposit ratio (LDR) mendaki ke posisi 94 persen. Artinya, dari setiap Rp 100 DPK yang masuk, Rp 94 di antaranya tersalur menjadi kredit. Angka LDR ini masuk kategori perlu diwaspadai lantaran Bank Indonesia mematok batas LDR yang prudent sebesar 78-92 persen.

Beberapa faktor diduga menjadi pemicunya. Rencana The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menaikkan suku bunga satu kali lagi pada sisa tahun ini diprediksi akan menyedot balik likuiditas domestik secara tiba-tiba. Di pasar finansial yang makin terintegrasi, selisih imbal hasil sedikit saja sudah cukup untuk mendorong pelarian modal ke luar negeri.

Di pasar finansial domestik, pemerintah pun sangat agresif menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan suku bunga kupon yang tinggi. Emisi SBN yang masif dan mahal berpotensi memicu terjadi pengalihan dana dari DPK perbankan menuju SBN.

Berkurangnya minat pada simpanan di bank memunculkan fenomena harga khusus bagi pemilik dana jumbo. Dengan negosiasi tertentu, mereka memperoleh suku bunga dengan tarif khusus agar mau berlama-lama menyimpan uangnya. Alhasil, biaya dana menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.

Mahalnya penghimpunan dana menggeser pola pendanaan. Bank juga menerbitkan obligasi di lantai bursa untuk memenuhi kebutuhan dana jangka panjang. Agar terserap, bank penerbit obligasi menaikkan suku bunga kupon. Tingginya biaya dana memaksa kembali perbankan mematok suku bunga kredit tinggi agar margin pendapatan bunga tetap terjaga.

Kekhawatiran ini sudah mulai tampak. Bersamaan dengan penarikan kredit dari perbankan, korporasi juga memburu dana langsung ke pasar obligasi. Imbal hasil yang ditawarkannya pun lebih tinggi dari suku bunga deposito, bahkan dari imbal hasil yang dipasok SBN.

Akibatnya, tensi persaingan perebutan dana makin ketat, tidak hanya antara perbankan, korporasi, dan pemerintah, tapi juga antara instrumen finansial domestik dan luar negeri. Alhasil, perang imbal hasil menjadi keniscayaan.

Perang imbal hasil tentu menghambat proses pendalaman pasar keuangan. Bank lebih nyaman menyimpan dananya di instrumen finansial ketimbang menyalurkannya sebagai kredit ke sektor riil. Investor pun akan kian selektif dalam menempatkan dananya.

Suku bunga pasar keuangan yang tinggi bisa membunuh jiwa wirausaha. Orang lebih suka menyimpan uang pada instrumen yang cepat memberikan imbal hasil tinggi dengan tingkat risiko paling rendah daripada membuka usaha.

Dalam skala yang lebih luas, derasnya permintaan dana di tengah kesulitan likuiditas berimbas pada isu inefisiensi ekonomi. Mahalnya biaya dana bisa mengganggu kinerja perekonomian nasional. Indonesia akan kembali terjebak dalam pusaran ekonomi biaya tinggi yang berdampak pada daya saing global.

Dengan beberapa argumentasi di atas, perbankan perlu lebih agresif mendiversifikasi penghimpunan dana jangka menengah non-konvensional lewat transaksi repo atau sertifikat deposito. Faktanya, baru bank besar saja yang memiliki sumber pendanaan non-konvensional. Itu pun baru mencapai 10 persen dari total DPK.

Jika bank masih tetap konsisten mengandalkan DPK konvensional, seperti tabungan, giro, atau deposito, perbankan mesti akomodatif terhadap nasabahnya. Nasabah sejatinya menghendaki semua kebutuhan jasa keuangan bisa disediakan perbankan, seperti tabungan, kredit, investasi, asuransi, transaksi, dan sejenisnya.

Tren bisnis perbankan ke depan niscaya dipengaruhi kebutuhan nasabah seperti ini. Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah pergeseran layanan bank, dari kantor cabang ke produk bank berbasis teknologi finansial.

Tanpa reorientasi yang komprehensif, kekeringan likuiditas senantiasa berulang dan memicu predator pasokan dana bank antara teknologi finansial, SBN, obligasi swasta, serta investor domestik dan luar negeri. Jika begini, ramalan pendiri Microsoft, Bill Gates, pada 25 tahun lalu bakal menjadi kenyataan: "Bank" akan hilang, yang eksis tinggal "perbankan".

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus