Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Presiden Mencalonkan, Parlemen Menentukan

Persetujuan wakil rakyat dalam pengangkatan pucuk pimpinan TNI dan polisi harus dipertahankan. Pelibatan DPC lebih cocok.

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana memilih pimpinan militer dan polisi di negara demokratis? Pertanyaan ini sekarang menjadi perdebatan di ruang publik. Beredarnya draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang sedang disusun Departemen Pertahanan, adalah pemicunya. Terutama karena rancangan ini menghapus persyaratan persetujuan DPR dalam pengangkatan Panglima TNI dan Kepala Polisi RI. Ini berarti bertentangan dengan Undang-Undang TNI maupun UU Kepolisian.

Para pendukung gagasan baru ini beralasan, para pucuk pimpinan alat negara yang dipersenjatai ini sebaiknya dijauhkan dari kepentingan politik praktis. Ini alasan yang secara sekilas masuk akal, tapi sebetulnya berbahaya karena mencederai mekanisme checks and balances sehingga akan memperlemah asas kedaulatan rakyat dalam tata pengelolaan negara.

Kelemahan ini harus ditolak. Kedaulatan rakyat adalah prinsip utama sistem demokrasi. Itu sebabnya pimpinan puncak di pemerintahan demokratis dipilih oleh rakyat secara berkala dan kinerja mereka sehari-hari dikontrol oleh para wakil rakyat di lembaga legislatif. DPR melakukan tugas ini dengan membuat undang-undang yang membatasi kewenangan aparat pemerintah, termasuk dalam membelanjakan dana publik.

Semua undang-undang itu adalah buah kesepakatan di ruang sidang parlemen yang acap kali diraih melalui mekanisme pemungutan suara. Untuk memastikan kekuatan mayoritas di parlemen tak digunakan untuk menafikan hak-hak mendasar warga—terutama kalangan minoritas—wewenang DPR dibatasi oleh konstitusi.

Pembatasan wewenang legislatif—dan juga eksekutif—ini diawasi oleh lembaga yudikatif. Mahkamah Konstitusi didirikan untuk memastikan semua produk legislatif tak bertentangan dengan UUD, dan Mahkamah Agung—yang anggotanya diusulkan oleh kepala negara dan diangkat dengan persetujuan DPR—bertugas memastikan tak ada aturan pemerintah yang bertentangan dengan undang-undang.

Pemisahan cabang-cabang kenegaraan yang saling mengawasi ini, yang dikenal sebagai asas trias politika, dimaksudkan untuk mengamankan berlakunya asas kedaulatan rakyat. Pembatasan ini hanya akan bermanfaat jika kekuatan masing-masing seimbang alias tak ada yang mendominasi.

Prinsip keseimbangan ini harus dipertimbangkan dalam memilih pucuk pimpinan TNI dan polisi, dua institusi pemerintahan yang dipersenjatai dan punya wewenang untuk menggunakannya. Pencalonan mereka memang sepatutnya diusulkan oleh lembaga eksekutif, namun tetap harus melalui persetujuan lembaga legislatif. Untuk meminimalkan pengaruh negatif politik praktis dalam proses ini, lembaga legislatif yang dilibatkan sebaiknya bukan DPR melainkan Dewan Perwakilan Daerah karena para anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan bukan ber-asal dari partai politik.

Pemilihan pimpinan militer dan polisi dengan mekanisme ini adalah cara yang jamak berlaku di negara demokratis. Pemerintah mencalonkan, parlemen yang menentukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus