Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan jumlah pemilih lebih dari 40 persen, suara pemilih milenial, yang berusia 17-36 tahun, akan diperebutkan oleh kedua pasangan calon presiden dalam Pemilihan Umum 2019. Namun tidak mudah menarik perhatian milenial. Dari sisi perilaku dan karakteristik, mereka berbeda dari pemilih lain. Maka strategi kampanye kepada segmen milenial juga harus berbeda. Kampanye politik tidak lagi bisa menggunakan cara-cara lama dan hanya mengandalkan gimmick politik. Bagaimana karakteristik milenial dan apa yang membuat mereka berbeda dibanding pemilih lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam dua tahun terakhir menemukan empat karakteristik utama pemilih milenial. Pertama, mereka adalah segmen pemilih yang apolitis dan tidak mempunyai ikatan psikologis yang kuat dengan partai politik atau calon presiden. Sikap apolitis tersebut tampak dari rendahnya keikutsertaan mereka dalam kegiatan politik, baik online maupun offline. Mereka tidak tertarik untuk terlibat menjadi anggota partai dan relawan kampanye partai atau calon presiden.
Survei CSIS menemukan, keterlibatan milenial sebagai relawan atau menjadi bagian dari partai politik tertentu tidak lebih dari 5 persen. Dari sisi aktivitas online, milenial juga tidak tertarik diasosiasikan dengan partai atau calon presiden tertentu. Dari sisi aktivitas di dunia digital, milenial tidak tertarik mengomentari berita-berita politik tertentu yang berkaitan dengan partai atau calon presiden. Milenial juga kurang tertarik meneruskan pesan (forward) atau me-like berita-berita tentang partai dan calon presiden.
Kedua, milenial adalah tipikal pemilih yang melihat aspek inovasi politik sebagai panduan dalam memilih. Latar belakang pendidikan dan pendapatan yang lebih baik dibanding generasi non-milenial serta akses ke informasi membuat pilihan milenial ditentukan oleh faktor inovasi. Salah satu faktor kemenangan Joko Widodo dalam Pemilihan Umum 2014 adalah keberhasilan membuat terobosan dan inovasi politik. Jokowi berhasil membuat citra sebagai pemimpin yang berpengalaman. Inovasi kampanyenya pun berhasil menjadi sebuah budaya pop lewat baju kotak-kotak.
Selama empat bulan masa kampanye pemilihan presiden, kita belum menemukan inovasi politik yang berarti. Baik petahana maupun penantang sama-sama terjebak membuat gimmick untuk meraih simpati milenial. Pendekatan kepada milenial sangat seremonial dan miskin gagasan. Komunikasi politik dengan milenial juga terkesan searah. Dalam empat bulan ini, kampanye politik kita sarat serang-menyerang antarcalon dan kampanye yang bernada negatif. Dua hal tersebut sebenarnya tidak disukai pemilih milenial.
Ketiga, milenial adalah tipikal pemilih yang gamang dan gampang mengubah pilihannya. Perubahan pilihan biasanya dipengaruhi oleh isu yang tengah berkembang dan citra kandidat. Isu ekonomi menjadi isu utama yang menjadi kepedulian milenial dalam dua tahun terakhir, berdasarkan survei CSIS pada 2017 dan 2018, terutama mengenai lapangan kerja. Selain itu, persepsi terhadap kondisi perekonomian nasional dan korupsi menentukan. Evaluasi terhadap situasi ekonomi dan pemberantasan korupsi akan mempengaruhi pilihan milenial. Bila situasinya positif, akan menguntungkan bagi petahana, dan bila situasi buruk, akan merugikan petahana. Dari sisi citra, milenial sangat memperhatikan karakter calon presiden yang mampu membawa perubahan dan inovasi program serta kandidat yang dipersepsikan bersih dan bebas dari korupsi.
Keempat, milenial sebagai pemilih yang bebas menentukan pilihannya. Pilihan milenial tidak dipengaruhi oleh faktor endorsement tokoh tertentu, baik tokoh agama maupun tokoh politik. Dalam memilih, faktor evaluasi milenial terhadap karakter tokoh, rekam jejak, dan prestasi, serta program yang ditawarkan, akan sangat menentukan dibanding faktor-faktor lain.
Pentingnya peran pemilih milenial menentukan kemenangan dalam pemilihan umum tampak dari pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 2008 dan 2012 saat Barrack Obama menang. Studi Pew Research Center menunjukkan besarnya pengaruh pemilih milenial dalam kemenangan Obama pada pemilihan 2008. Sebesar 66 persen pemilih milenial memilih Obama dan hanya 31 persen milenial yang memilih John McCain. Pada pemilihan 2012, milenial juga menjadi menyumbang untuk kemenangan Obama dengan tingkat dukungan 62 persen. Studi Pew lainnya menunjukkan tingkat dukungan milenial terhadap Obama menjadi yang paling besar dalam sejarah pemilihan umum di Amerika sejak 1972. Kemenangan Obama di segmen milenial menunjukkan adanya inovasi dalam program dan kampanye. Tagline Obama, "New Hope", mampu menyihir dan memberi harapan yang kuat bagi pemilih milenial.
Menjelang pemilihan umum pada 17 April 2019 yang hanya tersisa lebih-kurang dua bulan, pemilih milenial butuh inovasi dan terobosan dari calon presiden, terutama di bidang ekonomi dan pemberantasan korupsi. Kandidat yang dipersepsikan mampu membuat terobosan di bidang ekonomi dan memperkuat KPK diperkirakan mendapatkan dukungan maksimal dari mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo