Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Stunting, Keluarga Perokok, dan Warisan Jokowi

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, mengaitkan masih tingginya prevalensi stunting dengan konsumsi rokok di keluarga miskin.

28 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi.

  • Gejala ini berhubungan juga dengan konsumsi rokok di keluarga miskin.

  • Pengendalian rokok diperlukan untuk menyehatkan masyarakat.

Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia menjadi negara dengan tingkat prevalensi stunting yang sangat tinggi di dunia, mencapai 24,4 persen pada 2021. Memang sedikit menurun dibanding prevalensi pada 2018 yang sebesar 30,8 persen, tapi masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 10 persen dari total populasi. Untuk menekan stunting, peran keluarga sangat penting, khususnya dalam memasok gizi bayi di bawah lima tahun dan anak-anaknya. Karena itu, peringatan Hari Keluarga Nasional pada 29 Juni dengan tema “Ayo Cegah Stunting agar Keluarga Bebas Stunting” sangatlah relevan. Tingginya stunting menjadi ancaman serius bagi terwujudnya generasi yang andal dan cerdas, bukan generasi bodoh serta penyakitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tingginya angka kemiskinan menjadi tersangka atas fenomena stunting ini. Menurut lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), kemiskinan di Indonesia pada 2022 diderita 29,3 juta penduduk atau 10,81 persen. Faktor gizi menjadi kunci atas tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Namun, jika ditelisik, rendahnya gizi pada anak bukan karena faktor kemiskinan semata, melainkan juga berkelindan dengan pola konsumsi yang salah di keluarga tersebut. Data menunjukkan bahwa konsumsi rokok di keluarga miskin menjadi penyebab utama tingginya prevalensi stunting di Indonesia.

Mari kita kuak jumlah dan data perokok terbaru di Indonesia. Berdasarkan laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021, jumlah perokok dewasa melonjak 8,8 juta menjadi 69,1 juta orang atau 25 persen populasi pada 2021 dari 60,3 juta pada 2011. Data ini belum termasuk jumlah perokok aktif pada anak dan remaja. Promosi dan iklan rokok di media Internet pun melonjak drastis, dari hanya 1,9 persen pada 2011 menjadi 21 persen pada 2021. Migrasi ke rokok elektronik juga makin kentara.

Tidak aneh jika dominannya konsumsi rokok kemudian diikuti oleh perilaku masyarakat, khususnya di keluarga miskin. Hasil laporan GATS menunjukkan bahwa pola konsumsi rokok di rumah tangga miskin menduduki peringkat kedua, sebesar Rp 382 ribu per bulan, mengalahkan produk makanan bergizi, seperti lauk pauk dan susu. Ini relevan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 bahwa konsumsi rokok di keluarga miskin mencapai 76,5 persen, nomor dua setelah konsumsi makanan jadi.

Benang merahnya semakin terang bahwa tingginya prevalensi stunting di keluarga miskin karena pola konsumsi yang keliru: uang dan pendapatannya lebih banyak untuk membeli rokok daripada lauk-pauk dan makanan bergizi lainnya. Harga rokok yang murah dan gampang didapat menjadi pemicunya. Bahkan keluarga perokok juga akan berdampak terhadap anak yang terpapar asap rokok dan mempengaruhi pertumbuhan serta tinggi badannya. Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia menyatakan bahwa probabilitas stunting pada anak dari orang tua yang merokok adalah 5,5 persen lebih tinggi dibanding anak dengan orang tua yang bukan perokok.

Selain itu, konsumsi rokok diikuti dengan melambungnya prevalensi penyakit tidak menular untuk rentang waktu 2013-2018. Walau bukan faktor tunggal, tingginya konsumsi rokok berdampak paling signifikan terhadap melambungnya prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia. Hasil survei Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit kanker sebesar 1,4 persen, penyakit stroke 7 persen, penyakit gagal ginjal kronis 2 persen, dan penyakit diabetes melitus 6,9 persen. Adapun hasil survei Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensinya meningkat, yakni penyakit kanker menjadi 1,8 persen, penyakit stroke 10,9 persen, penyakit gagal ginjal kronis 3,8 persen, dan diabetes melitus 8,5 persen.

Dengan demikian, ada beberapa catatan keras mengapa konsumsi rokok masih mendominasi, terutama di keluarga miskin. Pertama, adanya pembiaran/pemandulan regulasi. Terbukti, rencana amendemen Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengendalian Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan mangkrak. Padahal ini merupakan mandat Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang memaklumatkan untuk mengamendemen peraturan pemerintah tadi, melarang rokok elektronik, dan menaikkan cukai rokok. Tapi, hingga habis masa berlaku peraturan presiden itu, ketiga mandat itu hilang bersama angin.

Kedua, murah dan mudahnya produk rokok sehingga gampang diakses oleh anak-anak, remaja, dan keluarga miskin. Menurut riset CHED ITB Ahmad Dahlan, 70 persen warung rokok di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menjual rokok secara ketengan, termasuk kepada anak anak dan remaja. Di luar Jabodetabek, kondisinya tentu lebih parah.

Ketiga, masifnya iklan dan promosi rokok, khususnya di media sosial dan Internet. Iklan rokok rokok di media luar ruang juga sangat dominan. Hasil riset PKJS UI pada 2020 memaparkan bahwa iklan rokok di media luar ruang dipasang berjarak 100 meter dari lingkungan sekolah. Industri rokok sengaja menjadikan anak sekolah sebagai target pasar mereka.

Momen Hari Keluarga Nasional 2022 seharusnya menjadi bahan refleksi bagi Presiden Joko Widodo untuk lebih serius mengendalikan konsumsi rokok, terutama untuk melindungi keluarga miskin. Tingginya prevalensi stunting pada keluarga miskin berhubungan dengan tingginya konsumsi rokok. Dampaknya, target capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), bahwa prevalensi rokok turun hingga 40 persen, dipastikan gagal. Bonus demografi hanyalah mitos. Yang ada hanyalah generasi berpenyakitan.

Masih ada waktu bagi Presiden Jokowi untuk meninggalkan warisan yang lebih baik. Investasi yang hakiki adalah investasi kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraan, bukan investasi oleh industri rokok. Memberhalakan investasi, apalagi investasi oleh industri rokok, adalah malapetaka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus