Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH beberapa tahun belakangan orang melihat kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai kiamat peradaban. Pelbagai robot atau humanoid yang memiliki kedigdayaan intelektual dan fisik telah mengatasi kemampuan manusia biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stephen Hawking jauh-jauh hari telah khawatir dan kita terkaget-kaget dengan ChatGPT. Apa yang sebelumnya distopia, kini muncul di depan hidung kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noam Chomsky, ahli bahasa penemu teori "universal grammar", khawatir akan lahirnya wacana-wacana dengan kualitas kelas dua serta plagiarisme yang mematikan kreativitas. Yuval Harari prihatin terhadap kemungkinan ChatGPT—bersama teknologi deep fake dan sejenisnya—membajak peradaban kita dengan menciptakan wacana-wacana hoaks dan palsu tapi justru diterima luas sebagai kebenaran. Termasuk di dalamnya, boleh jadi, sebuah gerakan keagamaan dengan Tuhan yang direkayasa oleh teknologi.
Apalagi kalau kita pergi lebih jauh ke belakang sampai ke filsafat Heideggerian. Bahasa, bagi Martin Heidegger, punya makna jauh lebih esoterik-eksistensial ketimbang hanya teknis-simbolik. Bagi filsuf asal Freiburg, Jerman, ini, bahasa bukan sekadar instrumen komunikasi.
Heidegger menyebut bahasa sebagai "rumah ada”, sebuah representasi langsung keberadaan manusia—realitas diri yang paling autentik. Heidegger membuktikan sifat eksistensial kata atau konsep dalam bahasa dengan menunjukkan relasi dan koherensi antara makna asli (originer) atau lapis lebih dalam (hermeneutik) dan tenunan eksistensial batin manusia.
Begitu sentralnya peran bahasa sebagai wadah eksistensial ini, belakangan Heidegger menyerukan perlunya manusia bersikap pasif dan pasrah (letting be atau gelassenheit) dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan yang lain. Manusia tak selayaknya aktif membentuk wacana secara ofensif.
Di sini teknologi semacam ChatGPT menjadi problematik. Sejak dulu Heidegger melihat perkembangan teknologi sebagai kerangkeng (gestell). Di sini teknologi tidak dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan eksistensial, melainkan sebagai modus yang menentukan cara hidup manusia secara dangkal.
Teknologi, bagi Heidegger, tak menyentuh seni (techne) apalagi rasa. Teknologi modern telah menggagahi eksistensi dengan mengotak-kotakkan kehidupan agar dapat dimanipulasi semaunya secara mekanistik dan atomistik untuk memenuhi tuntutan ego sektoral sesaat yang banal.
Akibatnya, peradaban yang dibentuk oleh teknologi model ini cenderung memenuhi kebutuhan yang lekas dan dangkal seraya menelantarkan sebagian besar lainnya. Yang saya maksud adalah sesuatu yang menentukan eksistensi batin manusia yang paling hakiki dan yang paling menentukan kebahagiaan hidup manusia.
Orang tak perlu berpikir keras untuk melihat teknologi ChatGPT sebagai gestell. Seperti dikhawatirkan Chomsky, terlebih Harari, teknologi kecerdasan buatan membuka peluang pada kebohongan dan kepalsuan dalam hidup manusia.
Komunikasi dan hubungan antarmanusia menjadi banal karena penyusunan bahan-bahan komunikasi dilakukan mengikuti algoritma yang dingin, teratur, dan boleh jadi manipulatif. Hidup manusia menjadi kacau karena kebenaran dan kepalsuan susah dibedakan.
Sifat komputatif dan algoritmatik ChatGPT menutup kemungkinan bagi gagasan tentang bahasa sebagai “rumah ada” sebagaimana diyakini Heidegger. Bahasa menjadi kehilangan aspek kemajemukannya, tulis Heidegger. Menyerahkan kata yang dinamis kepada rangkaian tanda yang tak bergerak dan terprogram secara mekanis sama saja dengan mengantarkan bahasa ke liang lahad. Ini artinya membunuh yang “Ada” tadi.
Kabar baiknya, selama ini umat manusia selalu punya jalan untuk menyelamatkan diri mereka dari kiamat peradaban akibat penemuan-penemuan yang meringkus esensi kemanusiaan manusia.
Kita tak tahu apakah jika kekhawatiran para ahli itu terbukti, manusia tetap bisa menawarkan high touch untuk melawan high tech yang mencemaskan tadi. Jangan-jangan AI suatu saat justru melahirkan chatbot yang bisa melakukan hal-hal yang dilakukan manusia autentik dengan kemampuan batin dan rasa.
Sampai di sini, saya tak tahu apakah saya harus cemas atau bersyukur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo