Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak buah Ferdy Sambo yang membantu menghilangkan jejak pembunuhan Yosua Hutabarat mendapat promosi.
Polri makin terbalik-balik: polisi bermasalah naik jabatan, polisi yang menegakkan hukum dipecat.
Impunitas terhadap polisi yang terlibat kejahatan makin melemahkan Polri.
ALIH-alih mendapat hukuman, para perwira polisi yang terlibat pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat pada 2022 malah mendapat promosi. Mereka terlibat pembunuhan dengan membantu Ferdy Sambo, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, menghilangkan barang bukti serta merintangi penyidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan Markas Besar Polri menaikkan jabatan para perwira itu karena sanksi terhadap mereka sudah selesai sungguh mengada-ada. Sebagai aparatur hukum, seharusnya mereka mendapat sanksi berat karena terlibat kejahatan. Tak memecat apalagi malah mempromosikan para perwira itu menunjukkan Polri tak serius menegakkan hukum di lingkup internal lembaga mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada enam polisi yang mendapat promosi jabatan. Mereka adalah Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, Komisaris Besar Denny Setia Nugraha Nasution, Komisaris Besar Murbani Budi Pitono, Komisaris Besar Susanto Haris, Ajun Komisaris Besar Handik Zusen, dan Komisaris Chuck Putranto. Dengan berbagai perannya, para perwira ini membantu Ferdy Sambo menghilangkan jejak pembunuhan terhadap ajudannya itu.
Budhi Herdi, misalnya, kini menjabat Kepala Biro Perawatan Personel Polri. Sebelumnya, ia kepala bagian di biro ini. Ketika Sambo membunuh Yosua, Budhi adalah Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan. Dalam keterangan pers setelah kejadian, Budhi menjelaskan bahwa Yosua tewas karena baku tembak dengan ajudan lain Sambo. Cerita ini terbukti karangan karena pencabut nyawa Yosua adalah Ferdy Sambo sendiri.
Budhi Herdi dicopot dua hari kemudian. Perwira lain juga didemosi. Bahkan Chuck Putranto divonis 1 tahun penjara karena merusak CCTV di sekitar rumah Sambo yang merekam pembunuhan.
Promosi para perwira ini, selain mencederai keadilan, menunjukkan para pejabat Polri tak punya pemahaman tentang hukum, apalagi prinsip hak asasi manusia. Impunitas ini juga tanda lemahnya Polri dan kepemimpinan para elitenya.
Jika polisi bermasalah malah dipromosikan sementara polisi berprestasi dipecat, seperti Inspektur Dua Rudy Soik yang membongkar penyelundupan bahan bakar minyak di Nusa Tenggara Timur, institusi Polri akan makin rusak. Publik tak akan lagi percaya kepada Polri, yang pada akhirnya tidak akan lagi percaya terhadap supremasi hukum. Ketidakpercayaan publik kepada hukum membuat modal sosial sebagai perekat hidup bernegara hancur.
Orang paling bertanggung jawab atas kerusakan Polri sekarang adalah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tak hanya mempromosikan polisi bermasalah, Listyo juga membiarkan Polri menjadi alat politik memenangkan kandidat tertentu dalam pemilihan umum. Listyo pun terlihat runtang-runtung bersama mantan presiden Joko Widodo ke rumah Miftah Maulana, yang dihujat publik karena mengolok-olok orang miskin dalam ceramahnya.
Dengan segala kontroversi dan perilaku menyimpang pejabat publik itu, Listyo tak lagi layak duduk di kursi Kapolri. Ia makin merusak institusi Polri yang gagal memperbaiki diri sejak Reformasi 1998. Di bawah dia, polisi Indonesia paling korup di Asia menurut Indeks Persepsi Korupsi IndexMundi, melanggar hukum, sering menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia menurut Komisi Nasional HAM, serta menyalahi etika dan norma sebagai aparatur ataupun penegak hukum.