DAPATKAH seorang pemimpin di zaman ini seperti dia? Dalam
riwayat dikisahkan bagaimana dia hidup. Rumahnya batu bata yang
tak dibakar. Atapnya dahan pohon palma.
Ia menambal bajunya sendiri, atau memperbaiki alas kakinya yang
rusak. Ia memasang tungku dapurnya, menyapu lantai rumahnya. Ia
memerah susu dari domba dengan tangannya, dan hanya memakan apa
yang mudah.
la mengunjungi yang sakit, menyertai iringan jenasah siapa pun
yang mati. Ia menerima undangan seorang hamba untuk bersantap,
dan tak minta bantuan orang lain bila ia kuat melakukan kerja
itu sendiri.
Dapatkah seorang pemimpin di zaman ini seperti dia?
Orang Islam meyakini Muhammad s.a.w. adalah Nabi terakhir.
Zaman kita sekarang memang nampaknya telah tidak memungkinkan
nabi-nabi baru. Tokoh yang sangat mulia pun akan dianalisa
begitu rupa, hingga ia akhirnya bisa tampil dengan motif yang
kabur: suatu pernyataan frustrasi masa kecil, atau sublimasi
dari hasrat yang tak sepenuhnya disadari.
Kalau tidak, ia hanya akan muncul sebagai gejala suatu keadaan
sosial. Maka hanya mereka yang naif, yang sangat kangen akan
pahlawan -- serta para remaja yang bergairah -- yang masih
benar-benar "mabuk" akan seorang idola. Mahatma Gandhi, atau
Madame Blatavsky, Mao ataupun Ayatullah Khomeini: mereka punya
pengikut dan pemuja yang banyak, tapi pada akhirnya terbatas.
Mereka toh tak lagi hidup dalam "Tbe Age of Faith".
Kita kini mempersoalkan sendiri kemampuan kita untuk menjawab
segala soal yang muncul.
Bukan cuma wibawa kepemimpinan sosial dan rohani yang mudah
diguncang. Institusi ajaran juga merasa perlu hidup
berhati-hati, sejak bumi dan matahari ditemukan lain tanpa
bahasa kitab suci.
Pada tanggal 24 Maret 1543 Coperni cus membaca judul buku
pertama tentang teorinya, beberapa saat sebelum ia meninggal.
Konon ia pernah ragu untuk menerbitkan teorinya. Ia tak ingin
secara terbuka bertentangan dengan Gereja. Ia pernah
berpikir-pikir tidakkah lebih baik ia hanya menyiarkan "rahasia
filsafat tidak dalam bentuk tulisan, melainkan lisan". Tapi
ketika ia akhirnya membaca judul buku itu, ia senyum, lalu
wafat.
Dan segala "rahasia filsafat" pun kian lama kian mudah tersebar.
Perdebatan meluas, dan makin tak mudah diputuskan.
Tak mengherankan, bila ada yang melihat perkembangan ini sebagai
kemunduran belaka. Jika bandingannya adalah masa yang lebih
bermukjizat dan menjamin ketenteraman batin, memang zaman ini
terasa lebih risau. Jika tolak-ukurnya adalah teladan hidup
Rasul yang terbesar dan terakhir, memang para pemimpin
sesudahnya adalah contoh jelas ketidak-sempurnaan. Mungkin
karena inilah orang hanya melihat sejarah Islam sebagai proses
kemerosotan dan jadi marah.
Tentu saja ada tolak-ukur yang lain. Ambillah Baghdad abad ke-9.
Pada waktu itu al-Makmun mendirikan Baitul-Hikmah, "Balai
Kebijaksanaan", dengan ongkos 200.000 dinar: sebuah pusat
kegiatan ilmiah dan perpustakaan umum.
Dari sinilah, menurut Ibnu Khaldun, bermula kebangkitan ilmu,
sastra dan kesenian yang kemudian tersohor dalam sejarah.
Muhammad ibnu Musa, atau al-Khwarizmi, adalah buahnya yang
cemerlang. Daftar astronomi yang disusunnya dipakai dari Cordova
sampai Cina. Karya matematikanya dikenal kemudian di Eropa di
abad ke-12 sebagai ilmu yang disebut "aljabar".
Al-Khwarizmi hanya salah seorang saja dari masa lalu lintas ilmu
yang sibuk itu. Tapi jelaslah lalu lintas itu tak cuma satu
jurusan. Bait-ul-Hikmak adalah pusat penterjemahan yang
besar-besaran karya-karya Yunani, malah juga Hindu.
Dari satu segi masa itu nampak sebagai masa gemilang. Tapi
adakah Bait-ul-Hikmah akan dinilai tinggi, murni -- dan tidak
merosot --seandainya ia berdiri d zaman Khomeini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini