Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa kita menyerap bahasa asing sebagai salah satu cara untuk memperkaya perbendaharaan kata. Mengingat lema asal mempunyai pandangan dunia sendiri, maknanya tentu tak sepenuhnya hadir dalam pikiran pengguna bahasa sasaran, baik dalam tulisan maupun lisan. Pendek kata, ada pengertian yang tak terangkut dalam kata yang diserap, sehingga secara otomatis turut mempengaruhi pemahaman.
Ketika membaca karya Daniel C. Dennit (2014), Intuition Pumps and Other Tools for Thinking, saya tertegun dengan penjelasan karya ini, yaitu "one of the world’s most original and provocative thinkers". Serta-merta kata provocative mengganggu keasyikan memahami judul. Kata ini sering digunakan secara negatif. Pelakunya, provocator, tentu membayangkan orang yang berperilaku buruk yang secara sengaja hendak mendatangkan bencana dan kekacauan. Lebih aneh lagi, kata sifat itu juga identik dengan para thinker, pemikir.
Rasa penasaran tidak dapat dielakkan karena kata provokatif bermakna merangsang untuk melakukan provokasi, membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, dan pancingan (KBBI, 2008: 1108). Jelas, makna kata dari lema pinjaman ini buruk, terbukti dari beberapa contoh kalimat yang diterakan dalam (1) provokasi, (2) provokatif, dan (3) provokator. Sementara itu, menurut Kamus Dewan Bahasa (2002: 1059), kata provokasi berarti membangkitkan kemarahan, minat, dan provokatif, merupakan kata sifat. Sedangkan bentukan provokator tidak diterakan.
Kata pertama menyodorkan contoh: sebaliknya mereka menyadari bahwa provokasi yang ditimbulkannya itu akan mengundang pertumpahan darah; dan kedua memberi misal kalimat: dalam suasana seperti sekarang ini, sebaiknya setiap pihak menjauhkan diri dari perbuatan provokatif. Manakala contoh kalimat ketiga adalah perang terselubung ini melibatkan dinas rahasia, provokator, teroris, dan pembunuh. Kita bisa membayangkan bahwa provokasi adalah tindakan yang betul-betul jahat sehingga pelakunya layak dihukum dengan keras.
Padahal, dalam tanggapan pembaca buku tersebut, tidak ada satu pun yang memberi komentar negatif, malah positif. Misalnya, tulisan filsuf ini jenaka, menantang, menghibur, dan mencerahkan. Tidak hanya itu, pembaca yang lain menulis bahwa karya ini lahir dari minat terhadap kajian neurosains, linguistik, kecerdasan buatan, sains komputer, dan psikologi. Tidak bisa dibayangkan, orang yang secerdik ini bernasib malang digebuki oleh orang ramai karena didapati melakukan provokasi.
Nah, menariknya, ketiga kata tersebut berasal dari kata dasar provoke, yang sekaligus berfungsi sebagai kata kerja. Mengingat kamus Indonesia tidak menyerap kata kerja bahasa Inggris, kita lebih memberdayakan rumus me+kata dasar, sehingga kita menggunakan kata bentukan memprovokasi untuk menunjukkan perbuatan yang ada pada kata asal. Di sini acap timbul masalah karena huruf p secara gramatikal mesti luruh jika mendapatkan imbuhan me, tapi kita jarang menemukan memrovokasi dalam tulisan dan ucapan. Ada yang berpandangan bahwa huruf konsonan kata serapan asing tidak gugur, sehingga banyak kata dasar berawalan k, t, s, dan p tetap tidak lebur, seperti pada kata kerja mengkalkulasi dan mensukseskan. Sejatinya, kalau patuh pada aturan, setiap kata luar yang sudah diserap dianggap sebagai bahasa sendiri.
Kata dasar provocative, dalam kamus Cambridge International Dictionary of English (1997: 1139), membayangkan provoke yang berobyek kemarahan (anger) dan menimbulkan reaksi (cause reaction). Pada turunan kedua, kata provocative bermakna menyebabkan pemikiran tentang subyek yang menarik. Jadi provocative thinkers bisa dipahami secara tepat apabila merujuk pada makna tanggapan yang melahirkan respons yang menantang, bukan melahirkan provokasi sehingga menyebabkan orang ramai terpancing untuk meluahkan amarah.
Sejatinya, kata provokasi hampir bernasib serupa dengan kata kritik. Lema yang terakhir dalam kamus memang dialihbahasakan sebagai kecaman atau tanggapan atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik- buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Bagaimanapun, dengan kritik pengetahuan bertambah subur tanpa harus terperangkap hanya pada tanggapan buruk yang acap menyebabkan pengelakan penggunaan kata yang berasal dari kriths Yunani. Kata yang terakhir ini berarti menimbang, menilai, membedakan, memutuskan, dan menyoal sesuatu itu benar atau salah. Jelas, kritikus bukan sekadar mengungkapkan kegusarannya melalui tulisan dan ucapannya.
Akhirnya, makna provokasi bergantung pada konteks, sebagaimana kata kritik. Hanya, dua kata ini acap hadir dalam pengertian negatif, alih-alih positif. Apalagi, di era hemat karakter dalam media sosial, seperti Facebook dan Twitter, kebanyakan pengguna memanfaatkan keduanya untuk menggambarkan kenyataan dan perkataan dalam warna hitam-putih. Tak pelak, diksi yang digunakan cenderung memancing pembaca agar berang dan tak berusaha untuk memperlihatkan sisi baik dari yang dikritik. Sepatutnya, isu kontroversial apa pun membayangkan pandangan bernuansa, yang mengandaikan kerumitan relasi pengetahuan dan kekuasaan. Kegagalan memahami hubungan ini menyebabkan orang ramai tidak berpikir kritis karena sejak awal gagal memahami bahasa dengan cermat. l
Ahmad Sahidah
Dosen Senior Filsafat Dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo