Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Puing

Setiap puing benda bersejarah terasa ada masa silam yang hilang. tapi tak semua warisan ada tambaran tulus atas kita. sejumlah peninggalan sejarah harus dibongkar untuk mencipta sejarah baru. (ctp)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN stupa Borobudur pecah, Keraton Surakarta terbakat. Pada setiap puing benda bersejarah kita mungkin tertegun, merasakan suatu sejak masa silam yang hilang - semakin hilang. Tapi barangkali Anda akan bertanya, seperti saya dan tetangga saya bertanya: Masa silam siapa yang lenyap itu? Ketika berumur 7 tahun, saya, dalam suatu piknik keluarga, mengunjungi Borobudur. Candi itu sepi pengunjung Sekitarnya belum berjejal rumah. Yang saya ingat ada sebuah pohon, tak teramat teduh, di lapangan di sekitar bangunan tua dan sunyi itu, tempat kami berhenti dan ditemui seorang penjaga. Waktu itu masa perang kemerdekadn. Sampai sekarang saya tak tahu adakah penjaga itu bekerja secara sukarela atau dikaji pemerintah Republik yang belum seumur jagung, atau ia hidup dari turis (tentu saja bukan dari luar negeri) yang sangat jarang. Tapi ia berkata, dan kata-katanya tak saya lupakan sampai kini, "Harap jangan makan selama di atas candi. Sebab, dulu para pembangunnya juga berpuasa selama bekerja menyusun dan memahat batu." Suaranya meyakinkan, setidaknya kami, yang masih kanak- kanak dalam rombongan itu, patuh: tak memakan nasi dan bihun goreng dan entah apa lagi yang dibawa. Tapi mungkin bukan cuma itu yang penting. Sang penjaga, yang tampaknya sangat mencintai candi itu, yang mungkin tidak digaji pemerintah Republik, telah menghubungkan - agaknya dengan sebuah cerita bohong untuk anak-anak yang suka membuang sampah - badan saya di masa kini dengan suatu kerja besar di masa silam. Antara saya, yang ingusan, dan para pembangun Borobudur, yang tak dikenal, tersusun sebuah sejarah yang satu. Masa lalu yang tersisa di sebuah bukit di Kedu itu adalah masa lalu saya. Tapi tak semua warisan adalah Borobudur. Tak setiap kali ada tambatan yang tulus antara diri kita kini dan sebuah bangunan bersejarah. Apa artinya Istana Versailles bagi saya? Dan apa pula artinya Keraton Surakarta bagi seorang anak pesisir di Cilacap atau Weleri, meskipun dua tempat itu terletak, seperti halnya kerajaan Paku Buwana di Solo, dalam wilayah Jawa Tengah? Jauh atau dekat sebuah peninggalan masa lalu tak ditentukan oleh peta bumi, bahkan tak selamanya ditentukan oleh kronologi. Coba lihat album: Siapa yang tampak di sana, dengan baju kerah putih tahun 1930-an dan sebuah kebun yang luas yang dihias pucuk oleander? Si anak bedinde tak akan melihat bagian dari dirinya pada foto tua yang menguning itu - ia bukan bagian dari kebanggaan itu. Ia malah mungkin melihat sesuatu yang pahit dan menyakitkan: rekaman statusnya sebagai keturunan abdi, keterjerumusan yang kekal di lapisan yang rendah, yang tak terhapus. Atau ia memandang album itu dengan mata netral: sebuah cendera mata yang menarik karena antik, sesuatu yang bisa dikirimkan ke rubrik "Kisah & Foto Tempo Doeloe" majalah Femina boleh jadi kelak selembar benda penting bagi pencatat tarikh. Karena itulah barangkali pelbagai sisa bangunan Weltevreden dihancurkan dan Batavia lama tersingkir, untuk tampilnya sebuah kota besar Republik yang menghendaki sejarah yang lain, dengan rasa bangga yang lain. Siapa yang di tahun 1980-an ini membaca kisah sedih Si Jamin dan Si Johan saduran Merari Siregar, atau Si Dul Anak Betawi karya Aman, akan merasakan lanskap yang mungkin memberi kenikmatan tersendiri, tapi bisa juga tak boleh kita agung-agungkan. Kita tahu, dalam hidup, biarpun ringkas, selalu ada sesuatu yang mesti dilepas - mungkin tak ke arah yang lebih baik, mungkin ke bentuk yang lebih buruk. Dan apa yang "lebih baik" dan "lebih buruk" bagi suatu zaman tak pernah ditentukan oleh setiap orang. Dan kita tak selamanya berdaya untuk mencegah, seperti kita tak bisa mencegah sejumlah peninggalan "sejarah" lain harus dibongkar - misalnya rumah tempat anak kita dilahirkan, di jalur hijau. Di Tahun 1950, sejumlah seniman dan cendekiawan menyusun sebuah pernyataan yang pernah terkenal tapi kini tak bergema lagi. Mereka memberi nama manifesto itu "Surat Kepercayaan Gelanggang", bertanggal 18 Februari. Isinya penuh semangat, karena bagi mereka waktu itu, "revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Revolusi bagi mereka adalah "penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan". Dan bila mereka bicara tentang "kebudayaan Indonesia", mereka "tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilap dan untuk dibanggakan". Yang mereka pikirkan, kata mereka, tak lain adalah "suatu kebudayaan baru yang sehat". Ada kepongahan tertentu dalam nada suara itu. Ada salah sangka yang besar bahwa kita adalah bayi tabung tanpa sambungan dengan masa silam di luar itu. Tapi 9 stupa Borobudur hancur, Keraton Surakarta terbakar, dan mungkin memang benar bahwa yang penting akhirnya bukanlah mempertahankan, suatu sikap defensif, tetapi menciptakan. Sebab, tanda peradaban, pada hakikatnya, ialah peri laku kita yang hidup dengan rasa hormat kepada segala yang tumbuh dari Hidup. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus