Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasanya kita tak perlu meneruskan debat tentang apa beda pulang kampung dengan mudik. Tak perlu bertanya ke ahli bahasa, pun bertanya ke politikus. Fokus saja ke soal pemutusan penularan wabah virus corona atau Covid-19 lewat pergerakan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tahu virus ini adalah makhluk-kata makhluk pun bisa diperdebatkan-yang paling adil di muka bumi. Corona tak membedakan orang kaya dan miskin, wali kota dan menteri. Semua bisa diserang. Barangkali si corona tertawa terbahak-bahak jika kita sibuk mencari apa beda pulang kampung dengan mudik.
Bagi corona, yang penting adalah apa yang dilakukan saat orang pulang kampung dan mudik. Pulang kampung adalah pergerakan orang dari kota ke desa. Mudik adalah pergerakan orang menuju udik yang diartikan desa atau kampung. Apa yang beda? Pergerakan orang itu bisa lewat jalan darat, laut, dan udara. Kenapa kalau mudik dilarang membawa mobil sendiri, tak boleh lewat jalan tol, tak ada angkutan umum dan kereta api? Kenapa kalau pulang kampung bebas? Apakah corona bisa memilih yang mana ditulari, yang mudik apa yang pulang kampung?
Istilah pulang kampung dan mudik jangan-jangan untuk menutupi kelemahan pendataan pergerakan penduduk di negeri yang luas ini. Jadi, tak ada urusan dengan wabah corona. Banyak orang desa yang mengadu nasib ke kota, berdempet-dempet di rumah petak yang sewanya murah. Keluarga ditinggal di kampung. Mereka tidak pindah domisili dengan berganti kartu tanda penduduk. Mereka pulang secara berkala. Pergerakan itu disebut pulang kampung, seperti juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah acara talk show di televisi.
Lalu, ada orang desa yang merantau ke kota dengan keterampilan lebih dan bisa mendapatkan pekerjaan bagus. Mereka memboyong keluarganya, membangun rumah sendiri, dan anak-anak mereka bersekolah di kota. Data kependudukan mereka pun berpindah. Nah, mereka ini suatu saat, pada hari yang tepat seperti Lebaran, menengok kampung halamannya, bertemu keluarga dan bersilaturahmi. Mereka disebut mudik.
Saat ini, wabah corona sedang mengganas, kelompok yang mau mudik dilarang karena berjubelnya orang menyulitkan pengawasan. Ini bagus untuk memutus penyebaran virus. Tapi kenapa kelompok pulang kampung dibiarkan bebas? Kalau pulang kampung bersamaan, tentu berjubel juga, lalu apa bedanya dengan mudik? Risiko penyebaran virus sama saja, karena corona tidak pandang bulu.
Nah, jangan-jangan ada ketakutan lain di luar urusan virus, yakni sulit membantu penduduk yang terkena dampak ekonomi. Bahasa sederhananya, sulit menyalurkan bantuan sosial bagi penduduk "kelompok pulang kampung", karena identitas mereka tak tercatat di tempat mereka meraih rezeki.
Jika masalahnya di sini, wabah corona telah memberi pelajaran. Harus diciptakan sistem agar pekerja musiman yang sewaktu-waktu pulang kampung itu terdata di tempat mereka mencari nafkah. Buruh bangunan dari Garut, orang Tegal yang berjualan di kaki lima Jakarta, dan banyak contoh lain, harusnya terdata selama mereka berada di Ibu Kota. Kalau pendataan ini ada, lalu ada bencana di mana mereka secara ekonomi harus dibantu, pemerintah mudah menyalurkan bantuan sosial. Mereka pasti menurut untuk tidak pulang kampung, karena yakin tidak mati kelaparan. Jika ini bisa diatasi, pulang kampung dan mudik itu benar-benar sama artinya sebagaimana bunyi kamus bahasa Indonesia. Tak usah banyak debat. Kalau mudik dilarang, ya, pulang kampung pun dilarang, selama corona masih "menjalankan tugasnya" memberi pelajaran kepada umat manusia.