Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pupusnya Hak Mengetahui Kasus Munir

Pengadilan membatalkan kewajiban publikasi hasil penyelidikan pembunuhan Munir. Bukti pemerintah tak serius.

27 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH patut dipersalahkan atas pembatalan kewajiban publikasi hasil penyelidikan tim pencari fakta pembunuhan Munir. Keberatan dari kantor Sekretariat Negara membuat Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menggugurkan putusan Komisi Informasi Pusat.

Publik belum mengetahui betul siapa yang bertanggung jawab atas kematian aktivis hak asasi manusia Munir pada 7 September 2004. Kesempatan itu terbuka setelah Komisi Informasi mengabulkan permohonan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan agar pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan tim pencari fakta pada Oktober 2016.

Bekerja enam bulan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tim itu terdiri atas polisi, diplomat, jaksa, aktivis hak asasi manusia, dan dokter forensik. Mereka menyimpulkan adanya dugaan keterlibatan Badan Intelijen Negara dalam kematian Munir.

Polisi pun mengungkap peran para pekerja lapangan. Pengadilan telah menghukum Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot senior Garuda, 20 tahun penjara. Pimpinan dan sejumlah karyawan Garuda telah diterungku karena terbukti membantu pembunuhan itu.

Hasil kerja tim pencari fakta sesungguhnya menjadi dokumen penting yang layak diketahui publik. Tim ini menemukan lalu lintas komunikasi telepon antara Pollycarpus dan Deputi Penggalangan BIN Muchdi Purwoprandjono. Pollycarpus pernah pula berbicara dengan pejabat lain untuk membicarakan "ikan besar di Singapura", sandi pelenyapan Munir, yang terbunuh dalam penerbangan Singapura-Amsterdam.

Sayangnya, peluang publik mengetahui secara utuh persoalan itu segera pupus ketika kantor Sekretariat Negara berkeberatan dan mempersoalkan putusan Komisi Informasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Padahal putusan Komisi Informasi sebetulnya bersifat mengikat. Sekretariat Negara beralasan tidak pernah menerima dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta. Alasan itu sebenarnya otomatis mentah dengan kesediaan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan salinannya ke pemerintah Joko Widodo.

Tak salah jika muncul dugaan pemerintah tidak pernah berniat mengungkap otak pembunuhan Munir. Usaha buang badan, yang ditandai dengan upaya hukum melawan kewajiban membuka dokumen tim pencari fakta, bahkan bisa dipandang sebagai cara pemerintah Joko Widodo melindungi para pelaku pembunuhan Munir.

Ancaman bagi mereka yang melawan putusan Komisi Informasi sebenarnya sangat jelas. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengancam mereka yang terbukti menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen publik dengan hukuman penjara dua tahun. Undang-Undang Kearsipan memberi ganjaran lebih berat: penjara sepuluh tahun.

Langkah hukum pemerintah untuk membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat terasa aneh. Komisi ini didirikan negara lewat undang-undang, tapi putusannya ditentang pemerintah.

Pemerintah seolah-olah mengabaikan pertimbangan dasar pembentukan Komisi, yakni mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Ketika peluang pengawasan publik ditutup, pemerintahan yang baik akan sulit diwujudkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus