Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Agung soal usia kepala daerah membuka jalan bagi Kaesang Pangarep menjadi calon gubernur, wali kota, atau bupati dalam pilkada serentak pada 27 November 2024. Pada 25 Desember mendatang, Ketua Partai Solidaritas Indonesia dan anak bungsu Presiden Joko Widodo itu berusia 30 tahun. Hakim agung mengubah syarat minimal usia 30 tahun dari saat pencalonan menjadi saat pelantikan kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pola putusan Mahkamah Agung ini mengingatkan pada putusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober tahun lalu. Mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum, putusan MK tentang syarat usia kandidat pemilihan presiden membuka jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden pada Februari lalu, kakak Kaesang Pangarep itu terpilih menjadi Wakil Presiden 2024-2029.
Bedanya, putusan MA mengabulkan uji materi batas minimal usia kandidat kepala daerah dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum. Aturan itu menyebutkan usia minimal kandidat kepala daerah adalah 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon. MA menafsirkan pasal itu sebagai batas usia saat pelantikan. Dengan melihat jadwal pilkada serentak, pelantikan kepala daerah terpilih akan dilakukan pada Januari 2025.
Putusan MA yang terbit pada 29 Mei itu penuh kejanggalan. Tak hanya terbit tiga hari setelah gugatan, argumen hukumnya pun tidak wajar. Tafsir hakim agung soal batas usia pencalonan melampaui ketentuan Pasal 4 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020. Regulasi ini tak mengatur pelantikan kepala daerah yang sudah bukan lagi ranah KPU.
Tafsir Mahkamah Agung itu malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan ketentuan perubahan tersebut, setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun bisa mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Jika menang, mereka bisa menunggu pelantikan hingga berusia 30 tahun.
Jika pertimbangan hakim agung mengabulkan gugatan itu untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, seharusnya putusan tersebut berlaku untuk pemilihan kepala daerah berikutnya agar tak terkesan melayani kepentingan politik jangka pendek sekelompok orang. Namun, seperti putusan MK, putusan MA ini berlaku untuk pilkada tahun ini.
Dengan pelbagai kejanggalan itu, wajar publik curiga putusan tersebut bermotif politik. Apalagi penggugat aturan KPU ini adalah Partai Garuda, partai yang ikut menggugat batas usia calon presiden dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Partai Garuda dipimpin oleh Ahmad Ridha Sabana, calon anggota legislatif 2014 dari Partai Gerindra. Ia adik Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria, yang juga kader Partai Gerindra. Tak mengherankan, beberapa jam setelah putusan MA itu terbit, Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengunggah foto Budisatrio Djiwandono dan Kaesang Pangarep di akun Instagram-nya. Pada takarirnya, Dasco menulis, "Budisatrio Djiwandono-Kaesang Pangarep for Jakarta 2024". Budisatrio adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga merupakan keponakan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.
Jika putusan MA tentang batas usia kepala daerah buah intervensi politik, kerusakan hukum Indonesia telah meluas ke segala penjuru. Supremasi hukum tinggal cerita dan Indonesia kembali ke era otoritarianisme. Sebab, politik dan kekuasaan menentukan segala-galanya, tak peduli merusak etika, demokrasi, serta supremasi hukum.