Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cara Politik Melawan Kejahatan Pemilu

Mahkamah Konstitusi gagal menegakkan keadilan menghadapi kecurangan pemilu. Saatnya memakai jalan politik.

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I didn’t do it. Nobody saw me do it. You can’t prove anything. ~ Bart Simpson

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI kisah si bengal Bart dalam serial televisi The Simpsons, Pemilihan Umum 2024 berakhir dengan penyangkalan atas kejahatan kecurangan yang terang benderang. Mahkamah Konstitusi menolak membatalkan hasil pemilu yang dimenangi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setumpuk bukti yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. tentang praktik kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif diabaikan lima hakim konstitusi. Tiga hakim menyatakan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion).

Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih berpendapat telah terjadi pelanggaran hukum serius dalam pemilu. Dari pemanfaatan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral, ketidaknetralan penjabat kepala daerah, hingga mobilisasi aparatur negara memenangkan Prabowo-Gibran. Dissenting opinion yang pertama kalinya terjadi dalam putusan sengketa pemilu ini menandai cacat legitimasi pemerintahan Prabowo-Gibran sepanjang lima tahun ke depan.

Kecurangan demi kecurangan itu sulit dilepaskan dari peran Presiden Joko Widodo, ayah Gibran. Awalnya adalah revisi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan anaknya yang belum cukup umur menjadi kandidat wakil presiden. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, adik ipar Jokowi, yang mempengaruhi para hakim untuk meloloskan keponakannya. Anwar telah dinyatakan melanggar etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Jokowi juga diketahui terlibat dalam pengerahan lembaga dan aparat negara serta melakukan akrobat anggaran agar bisa leluasa melakukan politik gentong babi dengan menggelontorkan bantuan sosial besar-besaran di masa kampanye.

Dalih yang kerap dipakai para pembela putusan Mahkamah Konstitusi adalah penggugat tidak menyediakan bukti cukup agar tuntutan mereka dikabulkan: pemilihan ulang di seluruh Indonesia tanpa kandidat 02 atau tanpa calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.

Seharusnya, demikian menurut para pembela MK, penggugat meminta pemilihan ulang di daerah yang diyakini ada kecurangan saja. Kelompok ini menuding penggugat tidak melakukan saran itu karena angka kemenangan Prabowo demikian telak: 58,6 persen. Pemilu ulang di daerah tertentu mungkin mengurangi persentase kemenangan Prabowo, tapi tak membuatnya gagal menjadi presiden.  

Pandangan itu aneh. Mahkamah selayaknya tidak sekadar menghitung efek kecurangan pada perolehan suara. Mahkamah seharusnya mengedepankan prinsip keadilan berdasarkan temuan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sudah lama dikritik: Mahkamah Konstitusi tidak lebih dari sekadar mahkamah kalkulator.  

Nasi telah gosong dan kini menjadi kerak: putusan MK bersifat final dan mengikat. Apa yang dirusak politik tak bisa direparasi hukum—demikian menurut filsuf Slovenia, Slavoj Žižek. 

Kini langkah politik harus diambil. Idealnya pihak yang kalah menjadi oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Ini memang bukan harapan realistis. Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan besar kemungkinan bergabung dengan pemerintahan Prabowo. Partai Keadilan Sejahtera mungkin menyusul. 

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pemenang pemilu legislatif, kendati belum bersikap secara terbuka, diam-diam membuka komunikasi dengan Prabowo lewat elitenya. Sejauh ini Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tak memiliki hambatan psikologis berkomunikasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Tapi Megawati bermasalah dengan Jokowi, kader PDIP yang ia anggap berkhianat. Jika Prabowo mengharapkan PDIP bergabung, Megawati mungkin mengajukan syarat: Prabowo harus membatasi—jika tidak menghapus sama sekali—peran Jokowi dalam pemerintahan mendatang. Tanpa akses kepada partai politik mana pun, Jokowi pada akhirnya cuma warga biasa. Adapun Gibran akan “dikunci” dalam istana wakil presiden, posisi yang sejatinya cuma ban serep.

Politik memang bukan jalan kesempurnaan. Tapi keseimbangan baru setidaknya akan menghukum pelaku kekacauan: Joko “Bart Simpson” Widodo.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus