Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Agung berupa pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta untuk Baiq Nuril Maknun harus segera diralat lewat mekanisme peninjauan kembali. Nuril adalah korban perundungan seksual yang berani berjuang menegakkan martabat dan harga dirinya. Menghukum guru sekolah menengah atas di Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu sama dengan memukul mundur gerakan perempuan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis itu juga memprihatinkan karena melawan aturan Mahkamah Agung sendiri. Tahun lalu, lembaga yudikatif tertinggi itu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b menyebutkan bahwa hakim mesti mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan dalam persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah status sosial perempuan di antara para pihak yang beperkara, dampak psikis korban, sampai relasi kuasa para pihak. Jika diikuti dengan saksama, aturan ini bisa mentransformasi Mahkamah Agung menjadi lembaga hukum yang sadar gender. Sayangnya, majelis hakim memilih mengabaikan peraturan lembaganya sendiri.
Harus diakui, putusan sesat dalam perkara Nuril juga dipicu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008yang belakangan diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Peraturan yang menjadi dasar vonis hakim dalam perkara Nuril memang bermasalah sejak awal diundangkan. Ratusan orang sudah dijebloskan ke balik terali besi dengan Undang-Undang ITE hanya karena mengekspresikan opininya.
Nuril sendiri dijerat dengan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE. Pasal itu mengatur sanksi buat setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membagikan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Majelis hakim menilai rekaman percakapan antara Nuril dan Muslim, kepala sekolah tempat dia mengajar, memenuhi syarat sebagai "dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan". Rekaman itu memang berisi pernyataan Muslim yang melakukan perundungan seksual kepada Nuril secara verbal. Dengan bukti rekaman itulah Muslim dilaporkan ke atasannya di Dinas Pendidikan Kota Mataram dan diberi sanksi.
Sungguh tak masuk akal jika rekaman percakapan yang sama sekarang dipakai untuk menghukum Nuril. Pertama, tanpa bukti rekaman itu, kejahatan perundungan seksual Muslim tak akan pernah terbukti. Menyebarkan rekaman itu adalah bentuk pengaduan atas sebuah tindak pidana. Kedua, sesuai dengan hasil pemeriksaan sidang tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram, Nuril tidak terlibat dalam "distribusi" dan "transmisi" konten percakapan itu. Kawan-kawannyalah yang berinisiatif mengirimkannya kepada atasan Muslim.
Putusan Pengadilan Negeri Mataram yang membebaskan Nuril dalam perkara ini sebenarnya sudah tepat. Jaksa seharusnya tidak mengajukan permohonan banding ataupun kasasi. Pada saat yang sama, Komisi Yudisial perlu secepatnya memeriksa majelis hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara Nuril. Komisi juga harus mencermati amar putusan dan menelisik motif di balik putusan itu. Putusan ajaib semacam ini tak boleh dibiarkan berulang lagi di masa depan.
Terakhir, tentu Undang-Undang ITE harus segera direvisi. Dewan Perwakilan Rakyat tak boleh membiarkan sebuah peraturan perundang-undangan yang memberangus kebebasan berpendapat warga negara terus berlaku di negeri ini. Apalagi aturan itu kini mengancam korban kejahatan seksual yang berusaha memperjuangkan nasibnya.